Sunday, October 28, 2007

@nalisa

A. JUDUL BUKU :
PHILOSOPHICAL AND IDEOLOGICAL PERSPECTIVE ON EDUCATION

B. PENULIS :
GERALD L. GUTEK

C. JUDUL BAB :
PRAGMATISME DAN PENDIDIKAN

D. DESKRIPSI ISI BAB

Pragmatisme dikembangkan di Amerika pada abad ke dua puluh. Sekali pun filsafat tradisional tua beristirahat di satu pandangan yang terdahulu dari kenyataan dimana kebenaran adalah prioritas atau tidak terikat pada pengalaman manusia. Pragmatisme menantang bahwa kebenaran adalah suatu pernyataan yang bersifat sementara yang berasal dari pengalaman manusia. Meski Naturalisme, kelihatan lebih baik dari Pragmatisme, ahli filsafat pragmatis mempunyai kaitan dengan ujian akibat dari tindakan pada suatu cara dengan tehnik ilmiah yang baku. Untuk Pragmatisme, konsep dari Rousseau merupakan suatu cara alami "noble savage" yang menyatakan suatu perasaan halus yang romantis.
Menolak dari spekulasi metafisis dari filsafat yang lebih tua, Kaum Pragmatis seperti Charles S.S. Peirce (1839-1914), William Yakobus (1842-1910), George Herbert Mead (1865-1931) dan Yohanes Dewey (1859-1952) percaya bahwa filsafat dapat berlaku dalam memecahkan permasalahan manusia. Ide-idenya adalah untuk dihakimi dari akibat yang mereka telah laksanakan; kebenaran adalah suatu pernyataan yang terjamin, suatu pernyataan yang bersifat sementara berdasarkan pada aplikasi hipotesis kepada pemecahan permasalahan; logika, mengikuti metoda ilmiah, yang dilakukan suatu percobaan dan nilai-nilainya mengalami konteks permasalahan dan isu aesthetika dan etis yang dibebankan oleh fitur yang unik dari situasi yang tertentu.
Di dalam banyak cara, Pragmatisme merupakan suatu ungkapan yang filosofis dari pengalaman penduduk di perbatasan Amerika yang berpindah tempat menuju ke daerah barat, mereka menjadi pelopor untuk pergerakan mereka untuk berpindah tempat melalui bermacam-macam lingkungan yang alami sehingga mereka akan berubah sifat / pola hidupnya, akan tetapi mereka juga mengubah tatanan masyarakat mereka itu sendiri. Dari pengalaman orang-orang perbatasan tersebut menyebabkan masyarakat Amerika dapat menilai keberhasilannya dalam kaitannya dengan penggunaan istilah akibat datangnya dari pemanfaatan lingkungan untuk tujuan manusia. Dari waktu ke waktu, keterbukaan dari orang-orang perbatasan tersebut dapat diterjemahkan ke dalam suatu visi yang lebih luas dari suatu alam semesta yang terbuka, yang dibebankan oleh dinamika dari perubahan secara terus menerus, perubahan dan pergerakan. Pragmatisme terlihat pada waktu yang sama ketika ilmu pengetahuan dan industri sedang menciptakan suatu masyarakat teknologi yang baru, garis besar tersebut masih fleksibel dan sering muncul. Seperti pada abad kesembilan belas keabad yang keduapuluh, perangai yang ilmiah dapat diagungkan sebagai suatu kekuatan yang positif untuk membuat suatu hidup yang lebih baik di atas bumi. Warisan dari perbatasan yang kuno dari negeri yang terbuka di dalam dunia barat dan perbatasan yang baru secara ilmiah dapat berfungsi untuk membuat teknologi yang baru. Pragmatisme memproklamirkan kecenderungan Amerika untuk membuang filsafat yang bersifat untung-untungan yang semata-mata sebagai satu metafisis yang kosong.
Perumusan Pragmatisme ini bersamaan waktu dengan periode sosial yang energik, politis dan perubahan bidang pendidikan yang dikenal sebagai gerakan Progressive, yang terjadi pada akhir tahun 1890 di Amerika Serikat dalam Perang Dunia I tahun 1917. Pandangan yang pragmatis, yang berargumentasikan bahwa suatu permasalahan, jika mampu mendefinisikan, maka akan mampu menemukan jalan keluarnya; pemecahan, yang dicoba pada sikap penganut pembaharuan sosial dari orang Amerika yang progresif.
Pengujian pada Pragmatisme terfokus pada percobaan Yohanes Dewey atau yang dikenal sebagai Instrumentalisme. Untuk Dewey, metoda filsafat, seperti juga pada metoda science, telah dilakukan sebuah percobaan. Ide-ide adalah sebagai suatu instrument yang digunakan dalam memecahkan permasalahan manusia. Dewey adalah ahli filsafat yang memusatkan dirinya pada permasalahan dibidang pendidikan. Akibat dari pekerjaannya tersebut mempunyai dampak dalam implikasinya untuk dunia pendidikan. Pada section ini akan mengikuti pengujian seperti (1) John Dewey sebagai seorang pemimpin Pragmatisme Amerika, (2) basis Experimentansime yang filosofis, dan (3) dampak Experimentalisme pada bidang pendidikan.

JOHN DEWEY : PENDIRI DARI PRAGMATISME

Sekali pun Pierce, Yakobus, Mead dan yang lainnya mendukung perumusan Pragmatisme, John Dewey menjadi penganjur yang terkemuka pada pragmatisme di dalam bidang pendidikan. Sepanjang abad ke duapuluh, ide-idenya telah membentuk filsafat dalam bidang pendidikan. Di dalam shal ini akan dibahas 2 hal : (1) Dewey dalam hal sejarah dan ide-idenya dibidang pendidikan dan (2) memberi komentar pada pekerjaannya dibidang pendidikan dan filosofis utamanya.

Dewey dalam sejarahnya terhadap ide-ide pendidikan

John Dewey dilahirkan di Burlington, Vermont, pada tahun 1859, tahun ketika The Origin of the species Charles Darwin muncul, ayah Dewey adalah seorang pelaku bisnis lokal dan keluarganya aktif di dalam kehidupan sosial dan politis pada akhir abad kesembilan belas di Vermont komunitas, yang ditandai oleh semangat keramahtamahan yang demokratis. Filsafat Dewey yang sosial akan menekan makna dari komunitas secara ‘face-to-face’ di mana orang-orang saling membagi bersama perhatian dan permasalahan secara umum. Visi demokratisnya dibentuk pada saat pertemuan kota New England, di mana orang-orang berjumpa untuk memecahkan permasalahan mereka yang bertimbal balik melalui suatu proses diskusi yang tenang, berdebat dan dengan pengambilan keputusan. Ketika Dewey mengembangkan filsafat sosial dan filsafat bidang pendidikannya, konsep Dewey ini diambil keduanya untuk menjadi konsep dari partisipasi komunitas dan aplikasi pada metode latihan.
Dewey yang religius sebagai suatu Congregationalist, membentuk pandangan sosial dan etisnya. Aliran protestan Evangelis yang diubah oleh "Injil yang sosial," dan menekankan tanggung jawab seseorang yang etis bekerja untuk perubahan duniawi dan perbaikan yang sosial dan ekonomi pada masyarakat. Meski pada akhirnya iapun mengakhiri kesetiaannya kepada bidang keagamaan yang terorganisir, Dewey, seperti banyak progresifnya dari awal abad ke duapuluh adalah suatu pembaharu sosial yang percaya bahwa orang-orang mempunyai suatu misi untuk membuat bumi ini menjadi suatu tempat yang lebih baik untuk tinggal dengan cara perundang-undangan dan pendidikan.
Dewey bekerja pada Universitas Vermont, di mana ia menerima gelar bachelornya. Ia lalu mengajar sekolah di Oil City, Pennsylvania dan kemudian pada pedalaman pedesaan Vermont. Dewey mengejar studi doktoralnya pada Universitas Johns Hopkins, yang merupakan lembaga institusi berdasar pada riset model Jerman. Johns Hopkins juga banyak mencetak ilmuwan masa depan, politis, pembaharu politis dan akademis, salah satunya Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson.
Sebagai seorang siswa lulusan Johns Hopkins University, Dewey belajar dan menerima Hegelian Idealisme dari penasihatnya, George Sylvester Morris, yang kemudian akan membebaskannya untuk Pragmatisme. Meskipun menolak konsep idealisme dan dualisme, konsepnya mempersatukan "komunitas besar" yang disimpan pada teori Hegelian. Setelah menerima gelar doctornya, Dewey bergabung pada departemen filsafat Universitas Michigan, dimana ia mengajar dari tahun 1889 sampai tahun1894.
Pada tahun 1894, Dewey bergabung pada fakultas Universitas Chicago, di bawah kepemimpinan William Rainey Harper dan muncul sebagai satu lembaga atau institusi yang secara internasional dikenali sebagai institusi untuk graduate research dan study. Di Chicago ini, Dewey bertindak sebagai kepala Department Philosophy, Psikologi dan Education. Dari tiga disiplin ilmu ini, lalu ia menggabungkan ke dalam satu unit akademis, minat yang khusus dari Dewey tersebut, yang belajar dan menulis dari masing-masing bidang tersebut. Ketiga bidang tersebut difokuskan, Dewey memikirkan untuk aturan social untuk pendidikan.
Pada tahun-tahun Dewey di Chicago, dari tahun 1894 sampai 1904, yang terpenting adalah dalam pengembangan filosofis dan untuk eksperimen pada bidang pendidikan di University Laboratory School. Asosiasi Dewey dengan George Herbert Mead, seorang rekan kerja di dalam departemennya tersebut dan keterlibatannya di dalam Jane Addams Hull House yang membantunya untuk membentuk dan munculnya Pragmatisme. Mead kadang-kadang disebutnya sebagai seorang ahli filsafat sangat original yang progresif, argument, ide-ide dan tindakan-tindakan seharusnya dipadukan dan diarahkan terhadap perubahan sosial. Ide-ide Mead yang dibagi bersama dengan Dewey adalah : (1) demokrasi, sebagai satu ideal, dididik untuk memahami tugas dan tanggung-jawab sosial tentang hidup politis; dan (2) moralitas harus diberlakukan pada permasalahan hidup sehari-hari kepada pribadi, politis, sosial dan tingkah laku pendidikan.
Seperti Dewey, Mead tertarik akan pengembangan anak, terutama sekali pada awal pendidikan masa anak-anak. Mead mengembangkan suatu teori dari permainan sebagai satu aktivitas dengan tujuan tertentu, meskipun tidak jelas waktu bermain itu terjadi, tetapi berfungsi untuk menciptakan hubungan kepada aktivitas yang selanjutnya, termasuk pekerjaan. Mead, yang melihat permainan sebagai suatu cara alami dan wajar untuk mempelajari, berargumentasi bahwa lingkungan anak itu menyediakan peluang banyak sekali untuk permainan. Para guru perlu menyusun lingkungan pelajaran, terutama selama awal masa anak-anak, sehingga itu merangsang minat anak dan menimbulkan aktivitas. Mead juga mendukung pelajaran bersifat percobaan di mana siswa terlibat dalam studi-studi lapangan dan bekerja pada laboratorium. Ide-idenya sangat baik dan Dewey pun berpikir dan merangsang bidang pendidikan dan teori filosofis Dewey pada pekerjaannya di Uninversitas Chicago.
Sekali pun telah di Universitas Chicago, Dewey juga mendirikan dan mengarahkan Laboratory School dari tahun 1896 sampai 1904. Laboratorium Dewey School untuk anak-anak membuka pendaftaran dari umur empat tahun sampai empat belas tahun, yang dicarinya adalah untuk memberikan pengalaman di dalam bekerjasama satu sama lain serta bermanfaat terus dalam hidup yaitu "metoda aktivitas," yang melibatkan permainan, konstruksi, sifat belajar dan pernyataan diri. Aktivitas ini dirancang untuk merangsang dan berlatih merekonstruksi pelajar aktif dari pengalaman mereka sendiri. Melalui sekolah tersebut aktivitas seperti itu akan berfungsi sebagai suatu komunitas miniatur dari satu masyarakat kecil. Kecenderungan anak-anak yang individual itu adalah untuk diarahkan terhadap hidup bekerjasama dalam komunitas sekolah tersebut.

Kebenaran dari filsafat Experimentalistnya, Laboratorium Dewey School adalah satu sekolah yang menjadi percobaan di mana teori-teori tentang pendidikan itu diuji. Hipotesis bidang pendidikan yang efektif dalam membantu para siswa untuk merekonstruksi hasil-hasil pengalaman dalam kaitannya dengan penggunaan istilah sosial dan mereka lalu bisa dijadikan suatu pendengar publik dan professioual yang lebih besar.

Di dalam gambaran sekolah Laboratory di Universitas Chicago, Dewey menulis:

Sekolah tersebut merupakan dasar konsepsi sebagai suatu laboratorium. Dan membawa hubungan yang sama pada pemasukkan ilmu pendidikan, untuk laboratorium biologi, ilmu fisika, atau ilmu kimia. Seperti umumnya laboratorium ini mempunyai dua tujuan utama: (1) untuk memperlihatkan/ memfokuskan, ujian, memverifikasi, dan mengkritik pernyataan-pernyataan dan prinsip-prinsip teoritis; dan (2) untuk menambah jumlahan dari fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam lini khususnya.

Dewey memimpikan fungsi sekolah tersebut untuk bisa menciptakan "standar baru dan ideal" dan akan menjuruskan kepada suatu reformasi secara berangsur-angsur dalam dunia pendidikan yang akan diterima di sekolah.
Eksperimen Dewey menekankan fungsi sosial sekolah tersebut. Sebagai suatu "komunitas sosial khusus," kompleksitas "lingkungan sosial" dan "yang akan dikurangi dan disederhanakan " Menurut Dewey : Hidup sosial yang sederhana perlu direproduksi, dalam ukuran kecil, asas aktivitas terhadap hidup secara keseluruhan, dan seperti itu memungkinkan bagi anak, di sisinya, untuk secara berangsur-angsur menjadi kenal terhadap struktur, bahan-bahan dan gaya-gaya pelaksanaan operasi komunitas yang lebih besar; selagi atas yang lain, hal itu memungkinkan secara individu untuk menyatakan dirinya melalui bentuk dari perilaku dan seperti itu dapat mencapai kendali dari kekuatannya sendiri.

Pekerjaan utama Dewey dalam Bidang Pendidikan Dan filosofis

Karena Dewey adalah penulis yang aktif, kita hanya akan berkomentar pada suatu nomor yang terpilih dari buku nya yang mempunyai suatu keterkaitan khusus untuk Pragmatisme sebagai satu filsafat bidang pendidikan. Penggambaran atas pengalaman-pengalaman nya di Laboratory School, Dewey, di dalam The School dan Society (1899), yang ditafsirkan dampak penekanan ekonomi industri di pendidikan yang diterima di sekolah dan kebutuhan akan sekolah-sekolah untuk berasumsi bahwa suatu fungsi sosial yang lebih besar. Dewey, The Child dan Curriculum (1902) menguji peran guru itu di dalam berhubungan kurikulum itu kepada ketertarikan anak itu, kesiap-siagaan, pada tahap perkembangan. Menekankan pengalaman pribadi sebagai dasar untuk belajar, Dewey merekomendasikan instruksi bahwa penggunaan pribadi dan secepatnya dari anak yang dimudahkan untuk pengetahuan.
Pada tahun 1910, dalam karya Dewey ”How We Think” berargumentasi bahwa pemikiran adalah bersifat percobaan tersebut merupakan satu rangkaian menyangkut peristiwa-peristiwa dalam pemecahan masalah yang terjadi ketika kita mencoba untuk bertahan hidup dan berkembang dalam satu konteks lingkungan. Dengan memanfaatkan metode latihan, pemikiran terjadi ketika kita menduga hipotesis yang dirancang untuk membuat satu situasi yang tak tentu ke dalam sesuatu yang mantap. Berpikir, seperti yang digambarkan oleh Dewey, mempunyai dampak-dampak untuk suatu metoda penyelidikan bidang pendidikan berdasar pada memecahkan masalah.


Demokrasi dan Education (1916) adalah terjemahan paling lengkap dari filsafat Dewey dalam bidang pendidikan sangat utama, Dewey, yang secara konsisten menolak dualisme, berargumentasi bahwa pendidikan sejati meneruskan lebih secara efektif dalam satu atau membuka lingkungan demokratis yang bebas dari lingkungan yang absolut dan menghalangi kebebasan untuk penyelidikan. Individualisme, Old and New (1920) menolak menerima warisan dugaan "individualisme tidak datar" sebagai satu residu bersejarah yang kuno. Sebagai pengganti lingkungan ekonomi dan masyarakat yang kompetitif. Dewey mendesak perencanaan sosial dan tindakan bahwa akan membuat order sosial yang muncul dalam pertumbuhan manusia dan tujuannya. Di dalam Art as Experience (1934), Dewey menekuni satu teori yang aesthetic dan menyatakan bahwa seni dengan baik merupakan suatu alat untuk publik dari ungkapan dan komunikasi yang dibagi bersama antara seniman dan perceiver dari obyek seni.
Meski sering kali dipanggil sebagai ayah pendidikan yang progresif, identifikasi Dewey dengan pendidikan yang progresif harus secara dianggap secara hati-hati. Joe R.Burnett, didalam analisanya meneliti pengaruh Dewey, perhatiannya bahwa Experimentalisme Dewey harus tidak disamakan dengan pendidikan yang progresif. Awal akar dari progressivisme dapat ditemukan di dalam Naturalisme Rousseau dan usaha-usaha Pestalozzi untuk menciptakan suatu metoda instruksi berdasar pada kesadaran impressionisme. Dewey 's mempengaruhi bidang progressivisme yang datang kemudiannya ketika ia akan mendukung penekanan yang umum dibidang sosial dan perubahan bidang pendidikan dari awal zaman yang progresif. Ia bersetuju dengan banyak unsur-unsur di dalam pendidikan yang progresif dan menolak yang lain terutama gaya sastra romantis naif dari neo-Rousseaueans.
Sekali pun banyak pengaruh progresif yang dipengaruhi oleh experimentalisme Dewey, yang lain tidak. Progressive Education Association, satu organisasi payung, yang diliputi bermacam individu dan kelompok-kelompok berkisar antara anak neo-Rousseauean memusatkan pada pendidik-pendidik kepada neoFreudians. Penerbitan dari banyak dari penulisan bidang pendidikan Dewey bersamaan waktu dengan gerakan pendidikan yang progresif dan persamaan ada diantara Dewey dan pembaharu-pembaharu yang progresif yang menentangkan suatu konsepsi yang statis terpelajar dan pendidikan yang diterima di sekolah. Meski Dewey dan banyak pendidik yang progresif bermufakat pentingnya pengalaman, kesinambungan dan penanaman berbagai kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anak itu, Dewey menantang neo-Rousseauean yang romantis sentimentil dan progresif yang secara dogmatis menyatakan anak memusat doktrin-doktrin. Experience and Education karya Dewey (1938) mengkritik pendidik-pendidik progresif untuk gagal untuk merinci suatu filsafat hal positif dibidang pendidikan berdasar pada pengalaman. Ia menantang progresif untuk menggerakkannya di luar hanyalah menentang sekolah tradisional yang mempraktekkannya dan mereka yang dihimbau untuk mengembangkan suatu hal positif dan perawakannya menyatakan bidang pendidikan.
Diantara buku-buku yang utama Dewey yang lain adalah Interest and Effort in Education (1913), Human Nature and Conduct (1922), dan Freedom and Culture (l939). Melalui tulisannya, ceramah kuliah dan persembahannya untuk Amerika. Dan peristiwa dunia, Dewey mendukung jenis liberalisme sosial dan politis bahwa mendesak perubahan sosial berdasar pada kehati-hatian dan perencanaan yang pragmatis. Pekerjaannya tersebut merangsang kenaikan dari suatu filsafat Experimentalist bidang pendidikan dan sangat mempengaruhi teori dan praktek Amerika yang bidang pendidikan. Bagian yang berikut menguji komponen-komponen yang utama dari Experimentalist pragmatisnya atau Instrumentalist serta filsafat


EXPERIMENTALISME YANG BASIS FILOSOFIS

Penolakan Dewey tentang Metafisis yang Absolut

Seorang yang pragmatis seperti Dewey, yang menolak spekulasi sebagai hal yang unverifiable dalam hal dari pengalaman manusia. Maka kita menguji penyerangan Dewey di sistem filosofis yang didasarkan pada metaphysical absolut yang memposisikan, dualisme dan suatu mencari ketentuan.
Meskipun Democracy dan Education paling dengan sepenuhnya menyatakan filsafat educational Dewey, kunci itu kepada sistim dari pemikiran Dewey adalah di The Quest for Certainty. Sepanjang tulisan di bidang pendidikan dan filosofisnya, Dewey membantah melawan terhadap suatu konsepsi yang dualistic alam semesta, yang ia mengklaim hanyalah suatu penemuan manusia yang dirancang untuk mendalilkan suatu dunia secara teoritis yang tidak berubah melengkapi dan menyempurnakan ketentuan. Idealist semakin tradisional, Realisme dan Thomist filsafat-filsafat, dalil-dalil metafisis bermakna yang yang didasarkan pada kenyataan yang dikandaskan di dalam dunia dimana ide-ide yang tidak berubah untuk Idealist atau struktur-struktur untuk Realist. konsepsi-konsepsi yang didasarkan ini, yaitu pemikir-pemikir Barat telah memikirkan suatu pandangan dualistic dari yang berkutub dua, kenyataan bahwa membaginya ke dalam ideational atau konseptual dan dimensi-dimensi material. Sekali pun ide-ide, semangat dan pemikiran yang lebih tinggi di dalam rantai dari mahluk hidup, pekerjaan dan tindakan menurunkan di dalam hirarki. Prioritas diberikan kepada order tidak berubah dan tidak penting. Dengan demikian, dualisme-dualisme klasik seperti semangat, perkara, pikiran, tubuh dan tubuh jiwa datang ke menyebar keseluruh bagian Arah Barat berpikir. Dualisme-dualisme yang metafisis ini mempunyai satu dampak di hidup dan pendidikan dan mereka menciptakan pembedaan-pembedaan antara teori dan praktek. Antara liberal dan pendidikan kejuruan, antara yang halus dan industri barang-barang seni. dan antara pemikiran dan tindakan.
Pencabangan dua antara teori dan praktek atau berpikir dan tindakan, tidak hanya suatu perkara untuk spekulasi oleh ahli filsafat, tetapi itu juga mempunyai satu dampak di praktek bidang pendidikan. Dualisme filosofis mendukung pola-pola dari organisasi curricular hirarkis di mana hal-hal paling teoritis diberi prioritas diatas praktis mereka. Membedakan teori dan praktek, kurikulum yang tradisional memerlukan pelajar-pelajar untuk ketrampilan-ketrampilan berkaitan kesusasteraan dan simbolis pertama seperti membaca, menulis dan aritmetika. Belajar keterampilan-keterampilan alat ini mempersiapkan anak-anak untuk belajar secara sistematis hal-hal seperti itu seperti sejarah, geografi, matematika dan ilmu pengetahuan di tingkat yang lebih tinggi dan yang sekunder. Di dalam kurikulum hal yang tradisional, disiplin-disiplin tertata secara deduktif seperti ketika tubuh-tubuh atau prinsip-prinsip, teori-teori, isi berdasar fakta dan contoh-contoh. Pendidikan formal menjadi terlalu sering menjadi hubungan abstrak/ringkasan dan lubang kecil kepada pengalaman kepunyaan sosial dan pribadi pelajar itu. Lebih lanjut, kurikulum hal yang diarahkan untuk mempersiapkan para siswa untuk masa depan situasi yang untuk terjadi setelah penyelesaian pendidikan yang diterima di sekolah formal. Menurut kritik Dewey, kurikulum hal yang tradisional, yang yang didasarkan dualisme antara teori dan praktek, pencabangan dua tambahan yang diciptakan bahwa yang diceraikan anak dari kurikulum dan sekolah tersebut dari masyarakat.

Konsepsi sosial Dewey pada pendidikan dasar kepada Experimentalismenya, melihat pemikiran yang dan akan dilakukan sebagai suatu arus yang bersatu/dipersatukan dari pengalaman yang berkelanjutan. Berpikir dan bertindak bukanlah hal yang dapat dipisah-pisah; pemikiran tak lengkap sampai yang diuji di dalam pengalaman. Untuk memahami filsafat pragmatis Dewey, perlu menguji antagonisme nya ke dualisme bahwa mendukung kepercayaan-kepercayaan filosofis tradisional di suatu sangat yang lebih tinggi dan kenyataan tidak berubah.
Menurut Dewey, manusia tinggal/menghuni satu dunia yang tidak-pasti bahwa menahan ancaman-ancaman kepada survival. Di dalam pikiran mereka, manusia yang dicari untuk menciptakan suatu konsep dari kepastian untuk memberi mereka suatu kesadaran dari yang ketetapan dan keamanan. Karena nyata tinggal menahan resiko, ahli teori tradisional membedakan antara ketidak-pastian tentang hidup yang sehari-hari dan keamanan bahwa datang dari kenyataan sempurna dan yang tidak berubah. Awal sistem religiophilosophical, seperti Idealism dan Thomism, menciptakan suatu kenyataan filsafat; pemikiran positif itu di suatu hal yang sempurna, yang tidak berubah dan mahluk universal yang kekal. Di dalam Weltanschauung ini, inferior tingkat keberadaan adalah yang keduniaan, mengubah dan tidak-pasti dan order yang superior adalah bahwa/karena yang di luar lingkup dari yang empiris, experiential dan keberadaan sehari-hari atau dengan kata lain, di luar yang secara fisik.
Filsafat-filsafat tradisional, yang berasal dari Platonism atau Aristotelianism, sedang sibuk dengan spekulasi tentang pemanent, primer, kekal dan mahluk mencukupi diri sendiri. Menurut doktrin-doktrin dari suatu Immutable Good and Fixed Order of Being, ahli filsafat bersifat untung-untungan mempunyai kaitan dengan sistem menguraikan metafisis dari kebenaran-kebenaran dan prinsip-prinsip perlu dan yang abadi/kekal bahwa meletakkan di luar pengalaman manusia. Menurut dualisme filosofis, suatu dunia yang lebih tinggi kenyataan permanen dan yang ditetapkan dan diperbaiki ada di mana kebenaran absolut; ada juga satu inferior banyak sekali mengubah object dan orang-orang yang adalah dunia dari pengalaman dan praktek.
Berlawanan dengan konsepsi-konsepsi yang dualistic kenyataan, Dewey menekankan suatu mengubahan dan alam semesta evolusiner di mana masalah manusia bukan untuk melebihi pengalaman tetapi lebih untuk menggunakan pengalaman untuk mengendalikan kejadian bahwa muncul/bangkitnya dari manusia yang bermaksud. Ketimbang pencarian untuk meloloskan diri pengalaman. Dewey berargumentasi bahwa filsafat perlu mengenali, rekonstruksi dan pengalaman penggunaan untuk memperbaiki kondisi manusia. Dalam rekonstruksi yang demikian pengalaman, teori dan praktek dipadukan dan yang digunakan di dalam aktivitas manusia yang berkelanjutan. Yang berasal dari pengalaman, teori diuji dalam perang. Sebagai ganti suatu dualisme antara yang abadi/kekal dan mengubah, pengalaman adalah suatu rangkaian di mana individu dan kelompok-kelompok menangani suatu urutan yang berurutan dari situasi-situasi yang meragukan. Dalam urutan yang demikian, teori berasal dari dan diuji dalam praktek; pikiran adalah suatu proses sosial dari dengan cerdas memecahkan permasalahan ketimbang satu yang terdahulu dan sangat kategori; pendidikan adalah liberal atau pembebasan, manusia karena yang dibebaskan dengan memberi mereka suatu metodologi dalam hubungan dengan bermacam-macam permasalahan, termasuk sosial dan kejuruan; pembedaan antara seni-seni bermanfaat dan halus dihancurkan dengan mengintegrasikan kecantikan dan fungsi. Disertasi Dewey adalah bahwa/karena keberadaan yang tidak-pasti. Untuk ada yang dimaksud untuk dilibatkan di suatu mengubah dunia. Penyelidikan manusia tidak untuk kepastian tetapi lebih untuk bermakna atau suatu metoda, tentang pengendalian dan mengarahkan proses dari perubahan sepanjang ini bisa dilakukan dalam satu dunia yang tidak sempurna.

Organisme dan Lingkungan

Dewey lahir pada tahun 1859 bersamaan waktu dengan penerbitan Charles Darwin Origins of the Species. Dampak-dampak revolusioner teori biologi Darwin bergema sepanjang akhir abad kesembilan belas; dan awal abad yang keduapuluh. Pada awalnya, teori evolusi Darwin nampak menantang versi Judeo-Christian yang tradisional Creation, yang yang didasarkan buku dari Kejadian, bahwa Allah telah menciptakan jenis di suatu wujud yang ditetapkan/diperbaiki. Mereka yang menerima Kejadian di suatu cara yang harafiah menemukan diri mereka tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan Darwinian. Untuk beberapa fundamentalis Orang Amerika Protestan, dampak dari teori Darwin adalah suatu pengalaman penghancuran.
Menurut disertasi Darwin bahwa jenis meningkatkan pelan-pelan dan secara berangsur-angsur, para anggota jenis atau organisme-organisme, yang hidup/tinggal, disesuaikan dan menyesuaikan diri dengan - lingkungan itu untuk bertahan hidup. Itu jenis yang berhasil di dalam menyelamatkan nyawa nengikuti karena mereka menguasai karakteristik-karakteristik yang baik bahwa buka peluang mereka untuk melakukan penyesuaian dengan memuaskan kepada lingkungan berubah. Transmisi karakteristik-karakteristik favorable ini kepada keturunan mereka menjamin lanjutan spesies tertentu. teori Darwin menekankan kompetisi individu untuk survival di suatu sering menantang lingkungan.
Untuk mengappresiasikan teori Darwin berdampak pada atas Dewey, perlu menguji dengan singkat adaptasi yang awal teori yang evolusiner ke dalam suatu sosiologi dari pengetahuan oleh Herbert Spencer (1820-1903), yang menerapkan Darwinian prinsip-prinsip kepada hidup politis dan yang ekonomi-sosial. Spencer memandang manusia seperti/ketika semua atom sosial yang individu siapa yang dulu terkunci di dalam suatu perjuangan dengan ganas kompetitif melawan terhadap individu yang lain. Melalui kekuatan motivasi dari kompetisi dan prakarsa yang individu, beberapa individu menyesuaikan diri dengan - lingkungan lebih secara efisien dibanding yang lain. Ini pesaing-pesaing kuat dan yang cerdas memanjat menaik di dalam masyarakat untuk posisi-posisi sosial, ekonomi dan kepemimpinan politis, mereka yang tak berakal di dalam tingkah laku mereka, yang tidak bisa bersaing secara efektif atau secara efisien, yang diturunkan di yang yang dibunyikan tentang tangga masyarakat itu untuk menjadi ampas dari masyarakat. Untuk Spencer, kompetisi adalah order yang alami dan wajar tentang hidup dengan hasil akan ke individu lebih bertahan.
Tidaklah sulit untuk meramalkan kemungkinan sosial dan dampak-dampak bidang pendidikan Social Darwinism. Spencer dan banyak pengikut nya di dalam bisnis dan di academia menghormati order Laissez faire sosial dan ekonomi seperti ketika dalam kondisi yang alami dan wajar membantah terhadap perusakkan hukum yang bersifat kompetisi. Masyarakat terdiri atas bebas, otonomi dan individu kompetitif, yang tidak lebih dari tingkatan yang langsung berjuang untuk survival yang ekonomi. Di dalam pandangan Social Darwinist, peranan sosial sekolah-sekolah dilaksanakan terbaik mereka dengan menyiapkan individu untuk suatu masyarakat yang kompetitif. Kemajuan terjadi ketika individu menciptakan dan menyempurnakan jalan atau cara baru bersaing melawan terhadap satu sama lain di dalam memanfaatkan yang alami dan wajar pada lingkungan sosial.
Kedua sifat biologi dan Social Darwinism mempengaruhi Dewey dalam mengembangkan filsafat Experimentalist, Sekali pun diterimanya sebagian dari konsepsi-konsepsi biologi dasar Darwin, Dewey menolak aplikasi Spencer etika yang kompetitif kepada masyarakat. Dugaan Darwin dari suatu proses yang evolusiner diterima oleh Dewey, yang telah menolak, menetapkan dan memperbaiki, akhir dan metafisika Hegelian. Penggambaran dari penarikan filsafat Dewey yang bidang pendidikan atas satu psikologi yang organismic, yang diterapkan istilah-istilah dari organisme dan lingkungan kepada hidup dan untuk pendidikan. Untuk Dewey, organisme manusia adalah suatu tinggal dan makhluk alami(wajar, secara fisiologis yang terdiri atas tinggal jaringan/tisu dan menguasai dorongan-dorongan penopangan hidup dan pengarah-pengarah. Setiap organisme hidup di dalam satu lingkungan atau tempat kediaman, yang mempunyai unsur-unsur yang kedua-duanya meningkatkan dan mengancam hidupnya.
Seperti setiap manusia atau organisme manusia, hidup, ia atau dia mematahkan situasi-situasi meragukan dari suatu karakter yang tak tentu bahwa menghalangi perjalanan yang berkelanjutan dari pengalaman, Atas temu situasi seperti itu yang tak tentu, aktivitas organisme itu dihalangi atau dirintangi sampai itu dapat memandang faktor penentu situasi roman dan hasil aktivitas. Orang yang sukses adalah mampu memecahkan permasalahan dan menambahkan unsur-unsur di dalam jalan keluar; pemecahan mereka kepada cadangan dari pengalaman. Sebagai hasil jejaring ini interaksi antara organisme dan lingkungan nya, organisme manusia memperoleh pengalaman. Di dalam Experimentalisme Dewey, konsep utama dari pengalaman yang terbaik dimengerti sebagai interaksi atau transaksi dari suatu organisme dengan lingkungan nya. Kita mengetahui lewat pengalaman-pengalaman kita atau interaksi-interaksi lingkungan : masing-masing peristiwa experiential menambah pengalaman kita. Ketika yang dihadapkan oleh situasi-situasi yang meragukan, kita menguji pengalaman kita untuk petunjuk-petunjuk, yang menyarankan tujuan untuk memecahkan kesukaran saat ini.
Dalam posisi ini, beberapa filsafat komponen-komponen bidang pendidikan Dcwey dasar dapat dikenali: (1) pelajar itu adalah suatu organisme yang hidup, suatu biologi dan peristiwa kemasyarakatan, yang miliki pengarah-pengarah atau dorongan-dorongan yang dirancang untuk mendukung hidup; (2) pelajar hidup dalam satu environtment atau tempat kediaman, yang adalah alami/wajar maupun dan sosial; (3) pelajar, pengarah-pengarah pribadi yang yang digerakkan oleh, adalah satu orang yang aktif terlibat dalam interaksi terus-menerus dengan lingkungan; (4) interaksi lingkungan menghasilkan permasalahan bahwa terjadi seperti(ketika setiap mencari untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya; dan (5) belajar proses tentang timbul permasalahan pemecahan di dalam lingkungan,
Pada masa-masanya di Universitas Chicago Laboratory School, Dewey menekankan fungsi sosial milik sekolah tersebut adalah suatu komunitas miniatur atau masyarakat awam. Meski memegang bahwa masyarakat terdiri atas memisahkan dan manusia yang individu terpisah. Ia menolak kompetitif susila Social Darwinism dari teori atom sosial. Untuk Dewey, manusia tinggal/hidup di kedua-duanya dalam suatu sosial dan suatu lingkungan yang alami/wajar. Di dalam bekerja keras untuk tinggal, manusia bertemu dengan bahwa hidup kelompok atau asosiasi manusia, paling secara efektif mendukung kesejahteraan dan survival mereka. Asosiatif tinggal atau komunitas, pengalaman manusia yang diperkaya dan yang ditambahkan kepada seperti ketika kelompok satu sama lain terlibat dalam memecahkan masalah aktivitas. Manusia kolektif mengalami disediakan setiap dengan suatu himpunan yang lebih rumit dari pengalaman-pengalaman, atau peristiwa-peristiwa interaktif.
Meski model dari Dewey pengalaman timbul dari interaksi organisme dengan lingkungan telah sering ditafsirkan di istilah-istilah socio educational. ilmu pengetahuan terbaru telah meluaskan penafsiran itu untuk termasuk satu dimensi bidang pendidikan ekologis juga. Menurut pandangan ini, yang menekankan humanis Dewey Naturalism, organisme manusia adalah saling berinteraksi lalu dengan "satu sosial yang terintegrasi dan biophysical lingkungan".

Unsur naturalistic ini, Dewey berpikir, selagi bukan yang romantis di dalam kesadaran Rousseaueall, yang dibantah melawan terhadap suatu dualisme bahwa melihat pendudukan manusia dua lapisan yang terpisah dari sosial existence--one dan yang lain alami/wajar. Ia juga menolak suatu Darwinisme yang kasar bahwa melihat manusia seperti para pejuang mengunci di dalam perjuangan melawan terhadap sifat, Conception seperti itu yang diluaskan interaksi lingkungan mendorong satu kepekaan ekologis kepada bumi sebagai suatu biosphere bahwa membuka proses yang bidang pendidikan kepada suatu cakupan luas dari permasalahan dunia seperti polusi lingkungan, konservasi sumber alam, pemeliharaan jenis yang dibahayakan dan altimately bahwa dari kendali tangan.

Epistemology Experimentalistme Dewey

Ketimbang berhadapan dengan isu-isu metafisis, Dewey mempunyai kaitan dengan permasalahan dari epistemology, Untuk itu, seperti juga Pragmatistme yang lain, mengetahui bersifat percobaan dan di suatu cara akal sehat mengikuti metoda dari penyelidikan yang ilmiah. Didalam bab yang berikutnya, kita akan menguji konsep-konsep dari inteligen Dewey dan penyelidikan bersifat percobaan dan nya menyumbangkan metode latihan ke dalam "seni yang lengkap dari pemikiran."
Perhatian Dewey yang filosofis terbesar adalah epistemological ketimbang yang metafisis. Di dalam memutuskan hubungan dengan filsafat-filsafat tradisional dari semakin Idealism dan Realism, yang beristirahat di suatu konsepsi yang metafisis dari kenyataan yang terdahulu, Dewey percaya bahwa filsafat-filsafat yang bersifat untung-untungan ini telah membangun suatu teori yang statis dari pikiran yang terisolasi kenyataan-kenyataan dari model yang hidup yang sosial dan pribadi, Dewey mengusulkan satu konsepsi sosial yang aktif kecerdasan/inteligen manusia, yang selagi yang dikondisikan oleh lembaga; institusi masyarakat, bisa secara dinamis mempengaruhi perubahan sosial.
Untuk Dewey, kecerdasan/inteligen adalah secara sosial dibangun ketika orang-orang berbagi pengalaman mereka di dalam berhadapan dengan perhatian-perhatian yang umum. Kecerdasan/inteligen adalah kemampuan untuk menggambarkan dan memecahkan permasalahan, diperoleh melalui pengalaman tentang tetap melakukan dan situasi-situasi pemecahan masalah pembahasan. Di dalam konteks pemecahan masalah, kecerdasan/inteligen diakibatkan oleh aktivitas yang dibagi bersama di dalam membuat dan menggunakan instrumen-instrumen, di dalam rencana kegiatan pertunjukan dan inacting atas hipotesis. Manusia menggunakan kecerdasan/inteligen mereka untuk menemukan dan membuat instrumen-instrumen atau perkakas. Semakin kompleks dan canggih masyarakat, semakin banyak instrumen-instrumen yang ada tersedia untuk menggunakan dalam memecahkan permasalahan. Tidak Seperti pemuliaan Rousseau status negara yang primitif dari sifat, Dewey menemukan orang liar atau manusia primitif untuk dibatasi oleh suatu kekurangan instrumen-instrumen bahwa bisa digunakan di memecahkan permasalahan, Di dalam kontras, masyarakat yang dibudayakan dikuasai instrumen-instrumen bahwa tingkatkan usaha-usaha pemecahan masalah kelompok dan menanami dan memperkaya kecerdasan/inteligen sosial. Dibandingkan dengan object material dalam satu kesadaran yang memperoleh sifat, Dewey memberi alasan bahwa suatu benar-benar membudayakan dan masyarakat peramah menggunakan instrumen-instrumen material untuk sosial dan pertumbuhan pribadi tentang para anggotanya,
Pandangan Dewey dari manusia sebagai suatu pembuat dari perkakas, sebagai satu pembuat instrumen, mempunyai dampak-dampak untuk pendidikan, Anak-anak di suatu masyarakat yang dibudayakan yang diperlukan untuk mengembangkan keakraban dengan pemakaian instrumen-instrumen. Melalui pendidikan yang diterima di sekolah, mereka bisa mengalami di suatu waktu secara relatif singkat sebagian besar pengalaman manusia bahwa melibatkan membuat dan menggunakan instrumen-instrumen.
Untuk itu Dewey memulai pemikiran ketika suatu situasi tak terbatas dan suatu kebutuhan tinggal yang tak puas. Di dalam penyelidikan itu untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan, pemikiran adalah satu instrumen untuk mengamankan kepuasan manusia. Menurut penyelidikan bersifat percobaan, ide-ide rencana kegiatan yang sebagai penolong bersifat sementara yang dirancang untuk mencapai tujuan manusia. Berpikir dilibatkan melihat hubungan antara tindakan dan akibat yang ada hasilnya.

Tindakan lengkap dari pemikiran

Menurut Dewey, pemikiran sejati terjadi pada setiap permasalahan yang dipecahkan dan yang ditemui menurut metode latihan atau tindakan lengkap pemikiran -metoda yang sciencetific dengan luas mengandung; memahami -terdiri atas lima langkah-langkah atau tahap-tahap yang tergambar jelas: (1) situasi-situasi yang meragukan, di mana orang itu dibingungkan dan dikacaukan karena ia atau dia dilibatkan dalam satu situasi yang tidak sempurna dari karakter yang tak tentu. Di dalam situasi-situasi yang meragukan, aktivitas setiap yang berkelanjutan dihalangi oleh beberapa unsur situational yang unik bahwa menyimpang dari pengalaman masa lalu; di dalam melukiskan masalah, setiap yang diuji situasi yang meragukan dan mengenali aspek itu dari situasi, deviant tertentu, bahwa merintangi aktivitas berkelanjutan; (3) klarifikasi masalah melibatkan suatu survei yang saksama, pengujian, pemeriksaan, eksplorasi dan analisa dari elemen-elemen melibatkan di dalam situasi yang meragukan. Ia dalam hal ini ketiga langkah penyelidikan yang individu secara sistematis dan dengan termenung meneliti masalah itu untuk menempatkan ide-ide, bahan-bahan dan instrumen-instrumen bahwa bisa memecahkan kesukaran; (4) oleh hipotesis contructing bersifat sementara, setiap yang dibentuk atau mapan sejumlah generalisasi-generalisasi, jika lalu pernyataan-pernyataan, yang mungkin tentang pemecahan masalah. Proses ini melibatkan secara mental memproyeksikan dirinya ke masa depan dan melihat akibat-akibat yang mungkin dari suatu tindakan.
Sebagai hasil hipotesa dan menduga, Solutions bersifat sementara individual yang dibingkai bahwa bisa memutuskan kesukaran dan itu mempunyai berbagai kemungkinan yang terbesar untuk pengamanan akibat-akibat yang diinginkan; dan (5) langkah yang penting melibatkan uji coba hipotesis yang lebih disukai dengan bertindak sesuai dengannya. jika hipotesis memecahkan masalah dan membawa akibat-akibat yang diinginkan, lalu setiap aktivitas yang dilanjutkan sampai temu masalah lain. Jika masalah itu tinggal, hipotesis lain lalu diperlukan.
Epistemology Dewey yang bersifat percobaan digunakan sebagai bentuk untuk metoda interview tentang Pemecahan Masalah di mana pelajar, sebagai perorangan bersama-sama yang lain, menggunakan metode latihan untuk memecahkan kedua-duanya permasalahan sosial dan pribadi. Masing-masing peristiwa pemecahan masalah menjadi satu situasi bersifat percobaan di mana pelajar menerapkan metoda dari kecerdasan/inteligen kepada timbul masalah nyata di dalam pengalamannya. Untuk Dewey dan para pengikutnya, metoda pemecahan masalah dapat dioperkan kepada bermacam situasi-situasi yang meragukan.
Langkah Dewey yang kelima. Uji coba hipotesis, yang diwakili keberangkatan yang terbesar dari pola pelajaran dari sekolah berorientasi hal tradisional. Sekali pun para guru dan para siswa di dalam semakin banyak sekolah-sekolah konvensional akan menjelajah jalan keluar; pemecahan permasalahan dan bingkai bersifat sementara, jarang lakukan mereka mencoba untuk memecahkan permasalahan ini dengan bertindak pada mereka secara langsung. Meski mereka mungkin bertindak atas permasalahan bertemu di dalam ilmu kimia mereka dan pelajaran-pelajaran matematika, jalan keluar; pemecahan itu kepada permasalahan ini telah ditentukan. Ia paling tidak mungkin bahwa para siswa akan didorong untuk bertindak sesuai dengan menekan sosial, ekonomi dan permasalahan politis hari ini. Meski permasalahan seperti itu seperti peperangan, damai sejahtera, kemiskinan dan polusi boleh jadi dibahas di dalam kelas yang konvensional, usaha siswa yang aktif itu untuk memutuskan permasalahan ini adalah nampaknya akan ditunda kepada waktu dan situasi-situasi di luar sekolah itu. Mereka kekuatan, sesungguhnya. ditunda sampai siswa mencapai kedewasaan dan menjadi suatu pemberi suara.
Kontrasnya lagi, Dewey menganggap bahwa penyahihan dari suatu ide terjadi hanya karena ia diuji di dalam pengalaman, pemikiran tak lengkap sampai yang dilaksanakan dan akibat-akibat tindakan dinaksir.

Axiology Sebagai Penilaian Bersifat Percobaan

Experimentalism Dewey menerapkan juga untuk hargai mengeluarkan seperti hal-hal dari penyelidikan berdasar fakta. Tidak seperti ahli filsafat Idealist dan Realist semakin tradisional yang menemukan suatu hirarki berharga melekat di dalam alam semesta, Dewey adalah suatu moral relativist yang percaya bahwa nilai-nilai yang muncul seperti ketika hasil-hasil dari manusia menanggapi untuk bermacam-macam situasi-situasi lingkungan. Untuk Dewey, suatu cacat yang utama dari sistem nilai hirarkis adalah bahwa/karena manusia dihadapkan oleh variasi-variasi yang lebar/luas berlawanan hirarki-hirarki. Masing-masing hirarki beristirahat atas dasar asumsi, yang diduga; disangka untuk bersifat terbukti sendiri menurut beberapa prinsip dari "alasan benar."
Sebagai tambahan terhadap menolak pengaturan-pengaturan hirarkis berharga, Dewey juga berbalik dari teori-teori nilai bahwa bersandar pada tradisi dan kebiasaan sebagai suatu faktor penentu nilai. Kelemahan Jari kaki utama di dalam" penyahihan Customary berharga adalah bahwa karena dengan pembenaran apapun juga yang ada pada situasi tertentu dan tempat tertentu, itu menjadi suatu dasar pemikiran untuk memelihara keadaan status quo. Dalam satu dunia modern yang saling tergantung, suatu metodologi penilaian diperlukan bahwa bisa digunakan untuk menimbang dan memutus konflik-konflik antar budaya. Di suatu masyarakat yang teknologi yang ditandai oleh sosial yang cepat berubah, bea keluar dan masuk dan tradisi-tradisi faktor penentu tidak cukup berharga.
Berlawanan dengan sistem nilai menemukan atas hirarki-hirarki atau tradisi yang universal dan kebiasaan, Dewey mendalilkan suatu ukuran penilaian berdasar pada hubungan-hubungan tujuan-tujuan, makna dan tujuan. Dasar dari penilaian Experimentalist ditemukan di dalam manusia, pilihan-pilihan, ingin, berbagai keinginan, keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan. Evaluasi muncul ketika suatu konflik terjadi di dalam bahan baku ini berharga. Karena pemikiran terjadi hanya dalam konteks situasi yang meragukan, valueting terjadi hanya ketika ada suatu konflik di dalam ingin, berbagai keinginan dan pilihan-pilihan. Jika seseorang hanya mempunyai keinginan yang tunggal, lalu ia atau dia akan bertindak untuk mencukupi keinginan tersebut. Di dalam kasus berharga konflik, itu adalah perlu mempersatukan kelihatannya berlawanan keinginan-keinginan. Jika keinginan-keinginan itu tidak bisa bersatu/dipersatukan, lalu satu harus memilih antara berlawanan alternatif-alternatif. Pilihan dibuat dengan mengevaluasi akibat-akibat yang mungkin untuk mengalami dengan bertindak sesuai dengan pilihan yang dipilih.
Penilaian metoda Dewey dirancang untuk mempersatukan tujuan-tujuan. Ketika satu akhir dicapai, itu menjadi bermakna untuk kepuasan akhir keheningan lain. Jika seseorang menginginkan suatu akhir yang diberi, akan perlu diminta melalui pertanyaan-pertanyaan tentang makna efisien dan yang sesuai tentang tujuan pencapaian itu.


Meski teori penilaian Dewey mengikuti satu rancangan percobaan juga memeluk suatu konsepsi demokrasi bahwa memegang dampak-dampak luas/lebar untuk masyarakat dan pendidikan. Demokrasi bermaksud lebih dari yang pengaturan-pengaturan politis yang tertentu berhubungan dengan wakil pemerintahan yang populer. Itu adalah satu etis maupun dan suatu keperluan penyiapan methodogical Dewey.
Suatu masyarakat yang demokratis dan memeluk dari pembagian manusia yang mungkin paling luas, keikutsertaan dan keterlibatan di dalam hidup dan proses-proses yang secara kelembagaan. Oposisi Dewey kepada dualisme di dalam filsafat yang diperluas kepada dualisme-dualisme di dalam masyarakat di mana individu atau kelompok-kelompok dipencilkan dan dihilangkan dari keikutsertaan sosial. Masyarakat-masyarakat dipisahkan dalam praktek atas dasar kelas, ras, jenis kelamin atau etnisitas kehilangan peluang untuk pertumbuhan dari kecerdasan/inteligen dan pengayaan sosial bahwa datang dari suatu perasaan tentang hidup di mana komunitas semua orang mengambil bagian. Nilai-nilai adalah untuk dinilai dalam kaitan dengan menggunakan istilah sumbangan ini kepada pembagian dan pengembangan manusia.
Pengaturan-pengaturan sosial demokratis adalah juga suatu keperluan yang metodologis untuk penyelidikan bersifat percobaan. Pengaturan-pengaturan seperti itu bebas dari filosofis absolut dibanding penyelidikan yang dihalangi ke dalam apa yang dihormati sebagai prinsip-prinsip pertama yang abadi/kekal. Mereka juga bebas dari pembatasan-pembatasan itu kepada penyelidikan yang dikenakan oleh rezim-rezim politis yang totaliter dan menutup diskusi dan debat public.
Di dalam situasi-situasi bidang pendidikan. teori nilai Dewey mendorong pikiran yang ingin tahu dalam satu kelas yang terbuka. Keterbukaan seperti itu bawa bersamanya ada ide-ide dan resiko dari nilai-nilai yang sudah berjalan lama dan itu bisa dibuang atau direkonstruksi. Para Guru dan para siswa adalah penyelidik-penyelidik yang aktip menguji ide-ide dan nilai-nilai. Keterbukaan, namun, tidak berarti anarki bidang pendidikan atau gaya sastra romantis yang naif. Agak keterbukaan memerlukan suatu pengaturan dan memungkinkan sosial menggunakan metoda dari kecerdasan/inteligen, metode percobaan, untuk berhubungan dengan manusia.

EXPERIMENTALISME DAN DAMPAK-DAMPAK BIDANG PENDIDIKAN

Pendidikan sebagai Konservasi dan Rekonstruksi

Di Dalam Demokrasi dan Education, perhatian Dewey yang utama adalah hubungan antara masyarakat dan pendidikan. Proses yang mendidik terjadi secara informal seperti ketika orang mendewasakan di dalam lingkungan pergaulan budaya dan memperoleh bahasa, ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan umum untuk menggolongkan hidup. Di dalam kesadaran formal dari semakin pendidikan yang diterima di sekolah, pendidikan adalah suatu proses yang sengaja membawa orang yang belum dewasa ke dalam partisipasi budaya dengan menyediakan perkakas ilmu bahasa dan simbolis perlu perlu karena interaksi kelompok dan komunikasi.
Dewey membayangkan pendidikan sebagai mempunyai kedua-duanya suatu yang konservatif dan suatu yang bersifat membangun kembali atau memperbaharui. Dimensi pendidikan adalah konservatif karena itu menyediakan kesinambungan budaya dengan pemancaran warisan dari orang dewasa ke anak-anak, para anggota yang belum dewasa. Di dalam kedua-duanya aspek nya yang informal dan formal, pendidikan adalah selalu suatu proses nilai dimuati bahwa menyangkut pembebanan/pemaksaan budaya karena diperlukan menempatkan dalam konteks kultur dengan bea keluar dan masuk yang unik nya tertentu, adat istiadat, folkways dan bahasa. Pembebanan/pemaksaan budaya meski adalah selalu termasuk/tergantung kepada suatu waktu yang diberikan pada suatu waktu dan tempat, itu menyediakan alat dan makna ekspresif dan komunikatif dengan mana individu bebaskan diri mereka melalui keikutsertaan kelompok.
Sebagai suatu pemancar dari warisan budaya, pendidikan adalah rata-rata dengan mana kelompok reproduksi jenis yang budaya dan seperti itu mengabadikan diri. Di dalam konteks Deweyite, anak itu dimasyarakatkan dengan memperoleh dan menggunakan instrumen-instrumen dan nilai-nilai yang budaya melalui asosiasi dengan para anggota kelompok. Jadi, Dengan demikian, pendidikan menjadi instrumen atau proses, dengan mana kelompok memancarkan ketrampilan-ketrampilannya yang budaya, pengetahuan dan nilai-nilai dan reproduksi jenis budaya dari yang diinginkan orang, siapa yang akan mengabadikan warisan tersebut.
Meski dengan jelas mengenali bahwa aspek yang konservatif pendidikan menyediakan kesinambungan budaya, Dewey melihat pendidikan dalam hal yang lebih luas dan lebih dinamis dibanding pemeliharaan keadaan status quo. Alat pembantu sangat budaya seperti bahasa dan teknologi yang memperdayakan dibawa muda berbagai kemungkinan untuk mengubah atau mengubah menerima warisan kultur. Ketika ia membayangkan alam semesta ketika mengalami perubahan terus menerus, Dewey percaya bahwa kultur manusia adalah juga mengubah. Oleh menggunakan metode latihan, manusia menguasai kemungkinan untuk mengarahkan keadaan berubah.
Dewey membutuhkan satu pandangan yang sebagai penolong dari masa lampau. Sesuatu yang dapat dijadikan teladan adalah instrumen-instrumen di dalam meneliti situasi sekarang ketimbang untuk diikuti secara implisit di dalam berhadapan dengan hadiah. Ketika direkonstruksi. Mereka bermanfaat di dalam membingkai hipotesis baru untuk memecahkan permasalahan manusia.

Pendidikan Yang Diterima Di Sekolah dan Masyarakat

Sebagai suatu kompleks yang sangat luas dan mencakup umat manusia, pengalaman yang dikumpulkan dan pengalaman yang tertentu dari kelompok, warisan budaya mencakup unsur-unsur yang adalah layak maupun dan tidak layak mendapatkan pengabadian. Pendidikan formal adalah satu alat dari masyarakat murni dan memilih aspek itu dari warisan menjadi budaya dan layaknya pengabadian.
Untuk Dewey, sekolah tersebut adalah suatu lingkungan yang khusus yang dibentuk mapan kepada enculturate yang muda oleh secara sadar membawa mereka ke dalam partisipasi budaya. Sebagai suatu lembaga; institusi sosial, sekolah tersebut adalah suatu agen yang selektif, selagi memancarkan kultur, juga mencari untuk merekonstruksi apa yang untuk ditemukan kebutuhan-kebutuhan pada zaman ini. Dewey fungsi-fungsi milik sekolah tersebut yang lipat tiga untuk menyederhanakan, memurnikan dan menyeimbangkan warisan yang budaya. Penyederhanaan bermaksud dan arti bahwa sekolah benar-benar curriculum-makers dan para guru sebagai suatu agen-agen sosial, memilih unsur-unsur dari warisan dan mengurangi kompleksitas mereka dengan unit-unit perancangan untuk belajar yang bersifat yang sesuai kepada kedewasaan dan kesiap-siagaan pelajar itu. Sebagai suatu agen pembersihan, sekolah tersebut memilih dan memancarkan unsur-unsur ini dari warisan/pusaka yang budaya bahwa tingkatkan pertumbuhan manusia dan menghapuskan aspek yang tidak layak bahwa membatasi pertumbuhan manusia. Menjaga keseimbangan warisan/pusaka yang budaya menunjuk mengintegrasikan pengalaman-pengalaman bahwa telah terpilih dan yang dibersihkan ke dalam suatu inti yang mengintegrasikan dari dengan senonoh pengalaman manusia. Karena masyarakat terdiri atas banyak kelompok yang berbeda, anak-anak memerlukan bantuan di dalam mengerti individu dari kelompok-kelompok lainnya. Masyarakat dengan sebenarnya demokratis sebagai satu komunitas seimbang dan yang terintegrasi beristirahat di satu sama lain membagi bersama mengerti. Untuk Dewey, sekolah tersebut adalah suatu yang disederhanakan, dibersihkan, dan terintegrasi (seimbang) komunitas di mana pelajar bertemu satu sama lain di suatu lingkungan secara sosial membebankan dan menangani satu sama lain dalam satu membuka dan cara demokratis.
Meski memecahkan masalah dibedakan dari yang lain dan diselaraskan, ini juga suatu proses sosial. Pengalaman kelompok adalah suatu yang kerjasama di mana semua peserta berbagi untuk mereka rasakan. Semakin banyak pembagian bahwa terjadi, semakin besar semakin berbagai kemungkinan untuk pertumbuhan. Dewey mengenal bahwa kenaikan dari suatu yang industri, berkenaan dengan kota dan masyarakat teknologi telah menciptakan sejumlah permasalahan socio-educational dengan mana terdapat sekolah-sekolah yang diperlukan untuk hadapi. Semakin kompleks masyarakat, semakin besar terjadi kesenjangan; celah; jurang antara aktivitas anak itu dan persyaratan-persyaratan tentang hidup orang dewasa yang bertanggung jawab. Masyarakat sekolah Dewey, yang didasarkan pada satu sama lain dibagi bersama aktivitas, dirancang sebagai janin dari suatu demokrasi yang asosiatif. Ia mengantisipasi bahwa teknik-teknik pemecahan masalah sekolah akan memindahkan ke masyarakat yang lebih besar.

Masyarakat dan Pendidikan Demokratis

Dewey menolak asumsi-asumsi Perennialist, seperti yang yang dinyatakan oleh Robert Hutchins, bahwa pendidikan-pendidikan di mana-mana yang sama atau pada hakekatnya baik. Ia memberi alasan bahwa mutu pendidikan memberi variasi seperti halnya mutu hidup yang mengalami oleh kelompok bahwa mendirikan dan mendukung sekolah. konsepsi-konsepsi Dewey dan pengaturan-pengaturan sosial yang demokratis dan pendidikan demokratis adalah saling berhubungan dengan satu sama lain dan mengadakan percobaan masyarakat bahwa menggunakan "yang berorientasi proses" filsafat. Bukan tertentu kepada bentuk negara Amerika itu atau ke lembaga; institusi politis yang tertentu, konsepsi Dewey pendidikan yang demokratis adalah agak satu epistemological dan kemasyarakatan satu yang ditandai oleh hadirat dari perangai bersifat percobaan. Di dalam mengadakan percobaan masyarakat, para warganegara bebas dari halangan-halangan menegangkan oleh pemerintah-pemerintah penganut kemutlakan atau filsafat-filsafat apriori. Karena lembaga; institusi bidang pendidikan memasyarakat yang muda di dalam nilai-nilai kelompok, pendidikan demokratis dengan sebenarnya terjadi di dalam lingkungan pergaulan dari sekolah berorientasi penyelidikan atau bersifat percobaan.
Di dalam konteks yang kemasyarakatan, masyarakat Dewey yang demokratis adalah satu di mana para anggota nya membagi bersama variasi yang mungkin paling luas dari berbagai kepentingan. Setiap halangan atau penghalang untuk menggolongkan interaksi, seperti rasial, religius atau pemisahan ekonomi, menghalangi pembagian kelompok. Bentuk apapun dari penghisapan manusia memperlemah perangai bersifat percobaan yang dibagi bersama suatu masyarakat dengan sebenarnya demokratis. Kapan pun individu dilibatkan dalam satu aktivitas yang eksklusif tanpa pembagian, beberapa wujud penghisapan hadir, Eksklusif, ketimbang yang dibagi bersama, minat melibatkan suatu penghisapan yang sempit bahwa yang dirugikan kedua-duanya, perbuatan yang gagah berani dan yang dimanfaatkan, Suatu masyarakat dengan sebenarnya demokratis menguasai suatu variasi yang kaya dari aktivitas yang dibagi bersama, suatu perhatian berdasar pada mutu atas berbagai kepentingan, dan suatu kesediaan untuk mengadakan percobaan.



Dewey menekankan sifat yang kerjasama dari manusia yang dibagi bersama merasakan. Semakin banyak pembagian bahwa terjadi antar individu semakin besar adalah berbagai kemungkinan untuk interaksi manusia dan pertumbuhan. Penekanan Dewey di asosiasi manusia memeluk tiga unsur-unsur kunci: yang umum, komunikasi dan komunitas. Yang umum, perwakilan membagi bersama object, instrumen-instrumen, nilai-nilai dan ide-ide, muncul dalam konteks pengalaman kelompok. Komunikasi terjadi ketika orang-orang membingkai dan menyatakan pengalaman-pengalaman mereka yang yang dibagi bersama di dalam pola simbolis, di suatu bahasa umum. Komunitas adalah asosiasi manusia bahwa menghasilkan ketika individu datang berkumpul untuk mendiskusikan pengalaman dan permasalahan mereka yang umum melalui makna dari komunikasi yang dibagi bersama. Meski semua asosiasi manusia ditandai oleh biasanya membagi bersama objek dan instrumen-instrumen sosial dan oleh komunikasi yang dibagi bersama, Dewey lebih menyukai kebebasan, membuka dan pengaturan-pengaturan peramah dari komunitas yang demokratis di mana proses-proses yang bersifat percobaan mengoperasikan tanpa campur tangan dari struktur-struktur penganut kemutlakan atau otoriter.
Meskipun Dewey menekankan pentingnya komunitas yang sependirian yang ditandai oleh pengalaman yang dibagi bersama, komunitas seperti itu tidak mempercayai pada; bersandarkan penyesuaian. Suatu komunitas dengan sebenarnya demokratis menghormati pluralisme dan keanekaragaman budaya di dalam suatu konteks yang dibagi bersama. Untuk Dewey, pendidikan yang dibantu untuk menciptakan kesadaran dari komunitas.
Dewey menempatkan arti penting yang penting di peran yang mendidik dari kelompok manusia. Keikutsertaan di dalam aktivitas kelompok menyokong mengembangkan kecerdasan/inteligen sosial. sekolah dan kelas Dewey dipahami; dikandung sebagai satu komunitas yang berkenaan dengan akar di mana pelajar-pelajar dapat bekerja bersama-sama, untuk memecahkan satu sama lain dibagi bersama permasalahan. Oleh mendiskusikan sasaran umum, cita-cita-cita-cita dan proyek-proyek, para siswa menjelma diri mereka dari individu yang terpisah, berlainan ke dalam suatu komunitas yang anggotanya membagi bersama perhatian-perhatian dan aktivitas timbal balik.
Pandangan Dewey yang demokratis dipengaruhi oleh pengalaman-pengalamannya sendiri yang perkembangan di Vermont. Visi hidup Amerika yang Dewey dan banyak dari rekanan nya membagi bersama beristirahat di dunia hiburan malam bertemu konsepsi face-to-face, demokrasi yang dibagi bersama. Meski pengalaman-pengalaman secara langsung sosial pribadi dari Amerika kota kecil telah dikikis oleh kemunculan dari suatu yang terindustrialisasi, teknologi dan masyarakat berkenaan dengan kota dari hubungan-hubungan bukan perseorangan, Dewey memimpikan bahwa pendidikan akan memperbaharui dan merekonstruksi kesadaran dari komunitas. Ketika anak-anak bekerja sama di dalam proyek-proyek kelompok, ia mengantisipasi bahwa proses-proses pemecahan masalah kelompok yang dimasyarakatkan akan memindahkan ke masyarakat yang lebih besar.
Di Dalam Individualisme Lama dan Baru, Dewey, di dalam menguji permasalahan yang diciptakan oleh kematian dari masyarakat pedesaan dan kemunculan dari suatu masyarakat yang teknologi, yang disimpulkan bahwa zaman dari teknologi akan menjadi perusahaan, individu akan bekerja sama di dalam kumpulan-kumpulan managerial teknologi yang industri yang besar. Ia mengkritik kapitalisme laissez faire, yang ia percaya telah buka peluang beberapa individu yang kaya untuk mengambil untung dari pemanfaatan, mayoritas populasi. Suatu ekonomi dengan keras laissez faire membuatnya sulit karena mayoritas itu untuk mewujudkan atau menyadari kapasitas mereka yang pribadi dan untuk mempengaruhi sosial yang diinginkan dan politis berubah. Sekali pun menyadari bahwa perubahan yang teknologi yang industri telah mengubah pengaturan-pengaturan sosial, Dewey percaya bahwa secara eksperimen memerintahkan teknologi akan memperoleh keuntungan seluruh masyarakat. Satu kompleks teknologi dan yang industri, yang diatur oleh prinsip-prinsip dari kecerdasan/inteligen sosial, mempunyai manusia pembebasan kapasitas dari pekerjaan yang menjemukan dari suatu ekonomi penghidupan. Jika dengan baik mengarahkan, itu bisa membebaskan energi-energi manusia untuk mengejar aesthetic kwalitatif dan nilai-nilai cendekiawan.
Pendidikan lebih tua, kompetitif dengan jelas usang dan tidak relevan kepada permasalahan dari suatu perusahaan, masyarakat berkenaan dengan kota, teknologi. Di dalam abad ke duapuluh, ideologi-ideologi dari fasisme, nazism dan komunisme bangkit sebagai tanggapan-tanggapan yang totaliter kepada organisasi status perusahaan dan masyarakat. Menolak ini sistem yang totaliter, Dewey melihat Experimentalism sebagai suatu sosial dan filsafat bidang pendidikan bahwa bisa memungkinkan orang-orang untuk hidup dengan dan berperan untuk yang teknologi hanya masyarakat perusahaan keheningan demokratis.
Dewey memimpikan "komunitas yang besar" atau "masyarakat besar" bahwa meliputi komunikasi paling penuh dan paling migrasi antara orang-orang. "komunitas besar" beristirahat atas satu perluasan komunitas-komunitas lokal di mana mayoritas yang besar orang-orang mempunyai mengarahkan face-to-face dari pengalaman dalam memecahkan permasalahan tentang hidup yang umum. Di dalam aspek ini, ia jujur kepada akar politis nya di dalam pemikiran Amerika yang progresif pada awal abad ke duapuluh. Amerika yang progresif zaman itu secara umum mulai melihat permulaan perubahan di tempat itu dan lalu menjadi yang diperluas kepada unit politik yang lebih besar seperti status negara dan pemerintah pusat. Demokrasi dari Dewey's "komunitas besar" memeluk suatu derajat tingkat dari perusahaan. Tidak seperti korporasi bisnis bahwa ada dan selamat di suatu ekonomi yang kapitalis karena itu membuat keuntungan-keuntungan, perusahaan dari "komunitas yang besar" akan menyediakan layanan yang diperlukan kepada para anggotanya.

Experimentalist Pengajaran dan Belajar

Meski para kritikus sudah sering kali menuduh dia tentang memberi harapan kepada sesuatu dengan simpang siur hal ini memberikan kebebasan di sekolah, pandangan-pandangan Dewey dari pelajar, seperti hubungan-hubungan nya kepada pendidikan yang progresif, harus yang dianggap secara hati-hati. Kebebasan pelajar itu bukan anarki atau melakukan ketika satu yang disenangkan tanpa hormat kepada akibat-akibat. Kebebasan, agak, diperlukan satu lingkungan kelas yang terbuka dan sikap interview bahwa yang dimudahkan dengan penyelidikan bersifat percobaan untuk menguji dan menguji kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai.
Metoda pemecahan masalah kelompok Dewey berbeda pada hakekatnya dari pengelolaan kelas tradisional di mana instruksi didasarkan pada otoritas guru itu. Bertanya secara eksternal memaksakan disiplin, Dewey lebih menyukai satu disiplin yang internal yang dirancang untuk menanami pengarahan diri sendiri dan diri sendiri menghukum orang-orang. Tugas macam ini atau masalah memusat disiplin, yang dimulai di dalam aktivitas yang diperlukan untuk memecahkan masalah. Kendali datang dari konteks yang kerjasama dari aktivitas yang dibagi bersama, yang melibatkan bekerja dengan instrumen-instrumen dan orang-orang. Ketimbang pengendalian situasi pelajaran, guru sebagai suatu orang sumber daya memandu situasi.
Di Dalam situasi pelajaran Dewey, titik awal tentang segala aktivitas adalah bentangan penyerap pelajar itu memerlukan minat yang hakiki seperti berhubungan dengan suatu perhatian yang riil, lebih efektif di dalam menimbulkan usaha yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan dan untuk memecahkan masalah.
Yang didasarkan pada konsepsi Dewey terpelajar, tujuan-tujuan bidang pendidikan berasal dari dua macam: ekstrinsik dan yang hakiki. Internal kepada pengalaman dan berbagai kepentingan pelajar itu, tujuan-tujuan yang hakiki bangun dari masalah atau tugas. Di dalam kontras, tujuan-tujuan ekstrinsik bersifat ucapan tambahan kepada masalah orang itu, tugas atau minat. Sebagai contoh, secara eksternal mengatur pahala atau hukuman-hukuman, sering kali digunakan untuk memotivasi pelajaran di dalam situasi-situasi sekolah tradisional, bersifat ekstrinsik dan sering juga menyimpangkan pelajaran sejati. Untuk Dewey, tujuan-tujuan yang hakiki mereka selalu ekstrinsik lebih pandai daripada karena mereka bersifat pribadi, meragukan dan yang dihubungkan dengan setiap diri sendiri sendiri pelajar, arah, pengendalian-diri, dan disiplin diri. Tujuan-tujuan bidang pendidikan yang hakiki, timbul dalam konteks pengalaman kepunyaan pelajar itu, bersifat fleksibel, mampu perubahan dan menjurus kepada aktivitas. Tujuan seperti itu yang bersifat percobaan adalah suatu sket yang bersifat sementara atau rencana kegiatan, yang mampu mahluk yang direkonstruksi dan dingalihkan jurusan.
Di dalam masalah Dewey memusat pelajaran, guru, sebagai suatu orang sumber daya, pemandu-pemandu ketimbang pelajaran secara langsung. Peran guru itu adalah terutama bahwa tentang memandu pelajar, yang memerlukan nasihat atau bantuan. Arah datang dari persyaratan-persyaratan tentang pemecahan masalah yang tertentu. Tujuan-tujuan bidang pendidikan termasuk kepunyaan pelajar ketimbang guru. Konsepsi Dewey arah dan bimbingan didasarkan pada psikologi organismic nya. Sedangkan stimuli mengarahkan aktivitas, itu untuk menjurus kepada suatu tanggapan yang memantulkan cahaya ketimbang suatu reaksi yang kasar. Tanggapan-tanggapan boleh gagal oleh karena definisi urutan dan ruang yang tidak cukup. Dengan cara yang sama, pemecahan masalah adalah mungkin untuk gagal ketika masalah itu adalah salah digambarkan. Untuk suatu masalah yang untuk dipecahkan secara benar, pelajar, dengan bimbingan guru perlu untuk membangun hubungan-hubungan yang tepat antara tujuan dan akhir dengan menciptakan suatu urutan prosedural yang benar untuk memecahkan masalah yang tertentu.
Para guru yang menggunakan metoda pemecahan masalah perlu untuk pasien dengan para siswa mereka. Meski paksaan akan memaksa para siswa untuk sampai di hasil-hasil segera, kemungkinan untuk membatasi fleksibilitas perlu karena pemecahan masalah masa depan. Kendali guru itu dari situasi pelajaran adalah idealnya tak langsung ketimbang langsung. Kendali langsung, paksaan atau disiplin eksternal secara umum kegagalan untuk memperbesar pembawaan-pembawaan pelajar yang internal itu dan tidak berperan untuk pelajar menjadi suatu diri sendiri mengarahkan orang. Para guru, yang termotivasi oleh suatu kesadaran yang palsu efisiensi interview, sering kali ketika ansietas mereka untuk memiliki para siswa sampai di "jawab yang benar" di dalam waktu yang mungkin paling pendek menyebabkan mereka untuk memlewatkan persyaratan-persyaratan yang prosedural dari penyelidikan bersifat percobaan.
Ketika orang-orang yang memiliki sumber daya, para guru, perlu untuk mengizinkan atau membiarkan para siswa untuk membuat error dan untuk merasakan akibat-akibat dari tindakan-tindakan mereka. Dengan cara ini, para siswa lebih mungkin untuk menjadi diri sendiri, mengoreksi. Dewey, tingkah-tingkah kekanak-kanakan tidak berarti bahwa perlu mendikte kurikulum. Namun, guru sebagai suatu orang yang dewasa, perlu berlatih penghakiman profesional dan expartise sehingga akibat-akibat tindakan tidak menjadi berbahaya kepada siswa atau kepada teman sekelas nya.

Pertumbuhan sebagai ujung dari Pendidikan

Untuk Dewey, batas akhir dari pendidikan adalah pertumbuhan atau bahwa rekonstruksi pengalaman bahwa memimpin ke arah arah dan kendali dari pengalaman yang berikut. Pendidikan sebagai suatu proses tidak memiliki akhir di luar pertumbuhan. Di dalam mengevaluasi pengalaman-pengalaman, pengalaman-pengalaman tertentu harus ditaksir kepada derajat tingkat bahwa mereka berperan untuk pertumbuhan atau kepada yang mempunyai lebih banyak pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang diinginkan menjurus kepada lebih lanjut pengalaman, sedangkan mereka yang tidak diinginkan menghalangi dan mengurangi berbagai kemungkinan untuk pengalaman yang berikut. Itu bisa dipanggil kembali bahwa kecerdasan/inteligen melibatkan kemampuan itu untuk memecahkan permasalahan, yang pada gilirannya, menyangkut mengenali hubungan-hubungan dan hubungan timbal balik antara berbagai pengalaman-pengalaman. Pertumbuhan, di dalam konteks Dewey, makna yang individu sedang memperoleh. Kemampuan untuk memahami hubungan-hubungan dan interkoneksi-interkoneksi antara berbagai pengalaman-pengalaman, antara peristiwa pelajarannya dan yang lain. Belajar oleh pengalaman, melalui pemecahan masalah, makna pendidikan itu, seperti hidup, adalah suatu proses dari secara terus-menerus merekonstruksi pengalaman.
Tujuan bidang pendidikan Dewey pada pertumbuhan untuk pengalaman-pengalaman pengarahan berikut yaitu penekanan yang tradisional sekolah di doktrin persiapan. Menurut doktrin persiapan, para siswa mempelajari pokok pelajaran-pelajaran dan tuan mereka untuk bersiap-siap menghadapi kejadian atau situasi yang untuk terjadi setelah penyelesaian sekolah. Di dalam kontras, Dewey, yang membayangkan hidup sebagai berlangsung di suatu mengubah alam semesta dan masyarakat, berargumentasi bahwa menunda tindakan sampai pendidikan yang diterima di sekolah tadinya menyelesaikan untuk mempersiapkan para siswa untuk suatu dunia bahwa akan menjadi yang berbeda yang jauh dari nya yang untuknya mereka telah disiapkan. Daripada menantikan beberapa tanggal masa depan yang diatur, para siswa untuk mematuhi berbagai kepentingan mereka dan perlu untuk memutuskan permasalahan masa kini. Oleh menggunakan pengalaman-pengalaman sehari-hari, para siswa akan menyimpan suatu metoda dari kecerdasan/inteligen yang adalah situasi bersekutu masa depan dan saat ini dapat digunakan.
Kritik Dewey dari doktrin persiapan berasal dari konsep nya. Seperti berlaku untuk pembaharu-pembaharu yang naturalistic seperti Rousseau, Pestalozzi dan Francis Parker, Dewey menolak pandangan dari anak sebagai suatu miniatur atau orang dewasa belum selesai. Ditentangkan pandangan yang anak merusakkan tabiat atau sangat kekurangan oleh karena satu menerima warisan kekurangan atau kelemahan di dalam sifat manusia. Sekali pun penolakan konsep yang kuno dari perbuatan jahat masa anak-anak, Dewey tidak berlangganan romantisasi Rousseau 'sifat anak sebagai hal yang dengan sepenuhnya dan dengan bawaan baik’. Untuk Dewey, masa anak-anak adalah suatu tahap yang pengembangan dari hidup manusia. Anak yang hidup/tinggal pada masing-masing tahap perkembangan mungkin untuk tinggal dan hidup yang cukup dan memuaskan hidup orang dewasa. Dewey ingin anak-anak untuk memperoleh suatu secara sosial metoda dalam hubungan dengan lingkungan bahwa akan memungkinkan mereka untuk menumbuhkan seperti manusia sepanjang hidupnya.

Kurikulum Experiential

Seperti pada kebenaran dari pembaharu-pembaharu bidang pendidikan yang sebelumnya seperti seperti Rousseau, Pestalozzi. dan Parker, Dewey menantang kurikulum, hal yang tradisional bahwa telah lama dihubungkan dengan pendidikan yang diterima di sekolah formal. Kritikus-kritikus dari kurikulum hal membebankan bahwa pengajaran tubuh-tubuh yang terpisah seperti informasi seperti sejarah, geografi, matematika, ilmu pengetahuan dan bahasa telah merosot ke dalam masa lampau, memusat, sangat kesombongan ilmiah dan berilmu lisan. Pendidikan yang diterima di sekolah formal telah menjadi memisahkan di dalam kesadaran bahwa itu adalah terpisah dari berbagai kepentingan kepunyaan anak itu, kebutuhan-kebutuhan dan pengalaman-pengalaman.
Dewey menekankan bahwa metodologi dengan intim dihubungkan dengan kurikulum. Pada Democracy dan Education, ia merekomendasikan tiga tingkat organisasi curricular: (1) membuat dan melakukan; (2) sejarah dan geografi; dan (3) mengorganisir ilmu pengetahuan. Membuat dan melakukan, tingkatan curricular yang pertama, para siswa yang ditautkan di dalam aktivitas atau proyek-proyek berdasar pada pengalaman mereka yang langsung dan yang memerlukan menggunakan dan manipulasi bahan baku. Sekali pun para siswa itu adalah aktif terlibat di dalam menggerakkan materials mentah, aktivitas ini berisi berbagai kemungkinan cendekiawan bahwa mengunjukkan anak-anak kepada aspek pengalaman yang fungsional.
Sejarah dan geografi, tingkatan curricular yang kedua, Dewey menghormati sebagai dua sumber daya bidang pendidikan yang besar untuk memperbesar lingkup dan makna dari pengalaman anak yang ruang dan sementara itu, dari lingkungan-lingkungan rumah dan sekolah yang segera, untuk hal dari komunitas yang lebih besar dan dunia. Untuk Dewey, sejarah dan geografi harus tidak diajar sebagai tubuh-tubuh mengorganisir secara terpisah informasi tetapi lebih perlu mulai dengan lingkungan dekat anak itu dan lalu diperluas sehingga pelajar memperoleh perspektif ke dalam waktu dan tempat.
Dewey mengenal bahwa semua pelajaran tertentu dan termasuk/tergantung kepada suatu waktu yang diberikan pada suatu waktu, tempat dan keadaan. Kekhususan-kekhususan budaya meski memaksakan diri mereka ke dalam belajar, ia mengenal suatu pembedaan antara pembebanan/pemaksaan dan pengajaran paham. Pembebanan/pemaksaan mencerminkan ketidaktentuan-ketidaktentuan hidup dalam kultur tertentu dan lingkungan dengan warisan yang unik dan nilainya, sedangkan pengajaran paham menutup pikiran itu kepada pemikiran divergen dan untuk jalan cara alternatif. Menolak pengajaran paham yang muda dengan yang ideologis "aliran-aliran," Dewey melihat pendidikan sosial sebagai alat membawa para siswa ke dalam kontak berangsur-angsur dengan kenyataan-kenyataan dan kebutuhan-kebutuhan yang nyata dari masyarakat teknologi dan yang industri.
Langkah yang ketiga kurikulum Dewey diorganisir berbagai hal-hal, berbagai ilmu pengetahuan, terdiri dari tubuh-tubuh dari kepercayaan-kepercayaan yang diuji atau pernyataan-pernyataan yang dijamin; Para siswa memperoleh pengunjukan kepada berbagai tubuh-tubuh dari informasi yang ilmiah ketika mereka membiasakan mereka di dalam meneliti permasalahan mereka. Pengetahuan dari berbagai ilmu pengetahuan adalah suatu komponen yang perlu di dalam mengidentifikasi unsur-unsur meragukan dan di dalam merumuskan hipotesis tindakan. Pandangan dari ini kurikulum menerangkan pengetahuan untuk menjadi interdisciplinary dan sebagai alat penolong.

Merekonstruksi Pengalaman dan Pendidikan

Untuk Dewey, pendidikan baik adalah rekonstruksi pengalaman yang menambahkan kepada arti dari dan mengarahkan keadaan pengalaman-pengalaman ke masa depan. Konsepsi pertumbuhan seperti ketika ujung pendidikan yang berhubungan dengan arah yang memantulkan cahaya dan aktivitas cerdas. Sebagai suatu konsep yang luas/lebar, pertumbuhan menyiratkan bahwa pelajar menyadari hubungan timbal balik pengalaman-pengalaman dan akibat-akibat bahwa mengikuti tindakan. Melalui cerminan, pengertian yang mendalam ke dalam hubungan antara pengalaman dan tindakan dan akibat-akibat nya ditransfer ke dalam maksud/arti melalui proses symbolisasi. Penalaran seperti itu diterangkan sebagai suatu proses dari maksud/arti kombinasi atau lambang, agar menarik kesimpulan-kesimpulan dari manipulasi mereka. Penalaran disahihkan melalui suatu proses try dan error. Orang bisa tidak pernah pasti karena memberi alasan dijamin sampai itu diuji dengan bertindak sesuai dengannya. Ujian untuk pemikiran adalah dalam verifikasi empiris nya. Menurut Dewey, ide-ide dan nilai-nilai yang dibelai, tak peduli bagaimana merindukan mereka telah ada, selalu diperlakukan kepada perubahan ketika yang diuji dengan pengalaman .
Rekonstruksi pengalaman bisa adalah pribadi maupun dan sosial. Sekali pun masing-masing individu mempunyai pribadi merasakan, pengalaman dari umat manusia itu publik. Ia di dalam dugaan Dewey rangkaian experiential yang pribadi dan gaya-gaya publik dari pengalaman dicampur. Menurut rangkaian experiential, semua orang adalah apa yang pengalaman masa lalu telah membuat mereka; kelompok-kelompok adalah juga produk-produk dari masa lampau mereka. Untuk kedua-duanya setiap dan kelompok, saat saat ini mencerminkan masa lampau mereka yang kolektif dan pribadi. Masa depan itu akan keluar dari hadiah. Kepada derajat tingkat bahwa manusia mengawasi tujuan masa depan dengan menerapkan kecerdasan/inteligen sosial kepada urusan mereka, mereka membentuk masa depan mereka, Jadi dengan demikian, sekarang yang lampau dan masa depan adalah satu arus dari pengalaman manusia yang berkelanjutan.
Di dalam rekonstruksi manusia pengalaman, itu yang mustahil untuk pernah mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tidak dapat diubah. Ketimbang mempunyai ketentuan absolut, pengetahuan manusia berisi atau menjamin generalisasi-generalisasi bahwa mempunyai kesahihan sampai suatu deviant tertentu ditemui bahwa tidak sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh generalisasi. Atas temu aspek yang unik di dalam pengalaman, adalah perlu merekonstruksi pengalaman dan atur ulang generalisasi. Rekonstruksi seperti itu pengalaman melibatkan dengan itu aspek dari generalisasi bahwa yang dicoba situasi yang meragukan yang diciptakan oleh pertemuan dengan unsur unik. Sebagai hasil merekonstruksi merasakan, deviant tertentu dibawa ke dalam konteks dari rangkaian experiential. Menolak barang kelontong yang absolut, yang tidak berubah dan kebenaran kekal, Dewey memegang bahwa kesimpulan-kesimpulan bersifat sementara dan tunduk kepada evaluasi lebih lanjut dan rekonstruksi.

KESIMPULAN

Pragmatisme, terutama Yohanes versi Experimentalist Dewey, adalah suatu filsafat, bahwa menantang sistem yang berjalan dalam pemikiran dan pendidikan. Ia mencari untuk menggantikan doktrin-doktrin abadi/kekal dan absolut dengan penyelidikan bersifat percobaan. Ia berargumentasi bahwa metode latihan, dengan luas mengandung; memahami, adalah metoda dari kecerdasan/inteligen sosial dan bersifat percobaan. Dewey memasukkan filsafat dan pendidikan, menekankan peranan sosial dari sekolah tersebut seperti ketika salah satu dari para agen yang penting bekerja untuk menghasilkan komunitas. Dari filsafat Dewey yang bidang pendidikan datang penekanan pada pengalaman, aktivitas, dan memecahkan masalah yang membantu untuk membentuk kembali berpikir tentang pendidikan dan pendidikan yang diterima di sekolah kita.




E. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan deskripsi isi bab dari buku tersebut dan dari berbagai sumber buku yang ada, dapat dijelaskan bahwa ada dua era pragmatisme. Era yang pertama adalah era positivistik dengan tokoh-tokohnya : Pierce – 1905 (Pragmatisme praktis), William James – 1909 ( Pragmatisme Fungsional) dan John Dewey (Pragmatisme Manfaat). Pragmatisme era pertama mati dengan banyaknya kritik. Sedangkan, era kedua pragmatisme muncul pada tahun 1980-an dengantokoh-tokohnya : Rorty (1982), Dallmyr (1987) dan Carey (1989). Era pragmatisme kedua ini yang disebut dengan Pragmatisme Meta-etik.
Pragmatisme era pertama pertama dalam pragmatisme modern. Pragmatisme era kedua pada satu sisi termasuk dalam era postpositivistik karena tampilannya mete-etik. Sebagaimana diketahui filsafat modern (mencakup positivisme modern dan postpositivisme) mementingkan rasionalitas yang terus direduksi menjadi efesiensi dan lebih lanjut menjadi pragmatik, di samping mengembangkan moral(deontologik). Pragmatisme era kedua lebih dekat dengan dekonstruksi Derrida dan dekat dengan Quanthum Theory Einsteinian, yang menampilkan kebebasan berpikir, berarti cukup rasional untuk dimasukkan ke dalam PostModernisme.
Pragmatisme mempertemukan filsafat idealisme dan realisme, bukan sebagai sintesa ataupun pendekatan baru melainkan sebauh inti dari sebuah ide untuk mengaplikasikan pemikiran pragmatik, dari sekian banyak keragaman dari pragmatik itu sendiri. Adanya dua ide utama dalam pragmatik yaitu manusia, sebagai makhluk aktif-kreatif membentuk dunianya dan manusia yang memadukan kebenaran dan nilai dalam aktivitas atau kegiatan. Panduan kebenaran dan nilai inilah yang mampu menampilkan teori kebenaran yang praktis (Pierce, 1905), yang fungsional (William James, 1909) dan berguna praktis (John Dewew, 1916) dalam aktivitasnya.
Dalam perkembangannya, justru mampu mengkritik sekaligus membangun sistematika ilmu managemen. Dimana secara konvensional, sistemasi ilmu manajemen dibangun atas dasar fungsi organisasi (Henry Fayol) yaitu perencanaan, pengarahan, pengorganisasian dan pengawasan. Tetapi dengan adanya pragmatisme maka banyak menggunakan alternatif perspektif, yang dalam konteks pragmatisme dapat digunakan perspektif : eksperimentalistik, instrumentalistik, operasionalistik atau berparadigma praksis, menyatukan teori dan aksi. Hingga disusul dengan adanya buku Marco Organizational Behaviour (Robert H. Miles) yang menelaah pragmatik tentang organisasi, sistem dan lingkungan, dilanjutkan dengan buku Organizations (R.I Daft dan R.M Steers (1986)) yang menyajikan telaah model organisasi dinamik. Sejalan dengan hal diatas, kecenderungan pengembangan lebih ke technological research daripada basic research hingga menampilkan performansi produk-produk ilmu.
Ada beberapa point yang pelu kita cermati bahwa teori kebenaran pragmatik akan lebih mudah dipahami, sesuai dengan pernyataan Pierce ”Tidak ada beda makna dari sesuatu yang lebih daripada kemungkinan perbedaan praktik”. Jika pragmatik menyatukan antara teori dan praktik, maka Pierce menyatakan bahwa kebenaran menjadi sesuatu yang perlu diperdebatkan bila kebenaran dipisahkan dari kandungan praktik dan semestinya orang yang mengadakan penelitian berarti mencari keyakinan dan keyakinan tentang kebenaran dapat diperoleh dengan cara mencari kebenaran dalam praktik.
Sedangkan William James, ”Yang praktis” menurutnya adalah sesuatu yang konkret, yang individual, yang khusus dan yang efektif sebagai lawan dari yang abstrak dan yang umum. Arti pragmatik menurut James, berangkat dari fungsi pikir seseorang untuk membentuk ide guna memenuhi kebutuhan dan minatnya, bukan untuk mengjiplak realitas. Sehingga menguji kebenaran suatu ide lewat uji verifikasi eksperimental dan memenuhi kebutuhan praktis kita.
Dewey secara konsisten mengembangkan teori kebenaran dengan menggunakan metoda pragmatik. Dewey melihat untuk menguji kandungan praktis dari ide, maka harus bekerja dalam konteks penggunaannya, baik dengan berfikir secara reflektif ataupun lewat pemecahan masalah. Hal yang mudah untuk merumuskan adanya korespondensi antara ide dan fakta, tetapi akan membuat korespondensi dengan makna praktis, menjadi masalah. Dalam hal ini, Dewey mengakui adanya ”situasi yang meragukan” yang membuat keadaan menjadi sulit untuk dijelaskan.
Jika pragmatisme dilihat sebagai filsafat, maka filsafat pragmatisme merupakan suatu metoda memfilosofikan makna teori. Hanya saja dalam perkembangannya, selalu ada perbedaan dalam memberi makna pragmatisme itu sendiri. Menurut Pierce, metoda pragmatik ada agar ide yang disampaikan enjadi jelas dan bukan dimaksudkan untuk menetapkan makna semua ide, melainkan untuk konsep intelektual yang memiliki struktur argumentatif atas fakta obyektif. Karena pragmatisme tidak hendak membuktikan tentang masalah riil metaphisik, melainkan hendak menunjukkan bahwa problem metaphisik itu tak bermakna apapun. Peran lain dari metoda pragmatik yaitu untuk mengeksplikasikan ide, konsep, bahasa dengan menyajikan pernyataan kondisional. Dimana, kondi menjadi acuan ataupun informasi untuk mencapai hal yang kita harapkan. Adanya prosedur penetapan makna merupakan urutan pragmatisme. Menurut Pierce, ada dua prosedur : pertama, sesuatu makna itu kosong, bila tak dapt dieksplikasikan kondidi atau konsekuensi praktisnya. Kedua, untuk dapat memberi makna, kita harus membangun skema sebagai kerangka teoritik untuk mendapatkan isi konsep empirik yang signifikan.
Untuk Dewey, Pragmatisme nya meramu Hegelian dan Kantian yang idealis dengan logiknya Pierce dan humanisnya James. Sehingga pragmatisme Dewey menjadi sebuah instrumentalisme, dimana ide, konsep dan keputusan hanyalah instrumen inkuiri untuk mencari benar-salah, melainkan untuk membuktikan lewat pengalaman : efektif-tidak.
Dalam teori inkuirinya, Dewey mengembangkan filsafatnya sebagai berikut, pengalaman pertama merupakan situasi indrterminate, dengan berpikir reflektif, situasi tersebut menjadi determinate, atas refleksi kita. Pada proses inkuiri, untuk mencapai pencapaian determinate melalui hipatesis atau plan of action yang selanjutnya diuji secara eksperimantal. Hasil efektif sebagai ends akan menjadikan means, sehingga akan menjadi matarantai berkelanjutan, means-ends-means-ends-means-ends.
Seprtinya halnya salah satu orientasi baru dalam psikologi belajar yaitu konstruktivisime merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pikiran manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktikkan dalam kaedah pengajaran dan pembelajaran di peringkat sekolah, maktab dan universitas tetapi tidak begitu ketara dan tidak ditekankan.
Mengikut kefahaman konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak boleh dipindahkan daripada guru kepada guru dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu mengembangkan sesuatu pengetahuan itu mengikuti pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran murid tidak akan menghadapi realitas yang wujud secara terasing dalam persekitaran. Realitas yang diketahui murid adalah realitas yang dia kembangkan sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap persekitaran mereka.



Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil kira struktur kognitif yang sedia ada pada mereka. Apabila maklumat baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebahagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. Proses ini dinamakan konstruktivisme.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahawa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid.
Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai idea mereka sendiri tentang hampir semua perkara, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika kefahaman dan miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, kefahaman atau kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam peperiksaan mereka mungkin memberi jawapan seperti yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahawa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Dari persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penyelidikan dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid meniur dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru kepada kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid membina skema pengkonsepan berdasarkan kepada pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penyelidikan daripada pembinaan model daripada kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep.
Paradigma pendidikan masa kini adalah kebanyakannya merupakan paradigma objektivisme. Paradigma ini gagal menyelesaikan banyak masalah dalam pendidikan. Perbedaan antara objektivisme dengan konstruktivisme adalah sangat nyata. Objektivisme berdasarkan tanggapan bahawa wujud pengetahuan di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini, fungsi sains ialah untuk memastikan pengetahuan disampaikan secara objektif. Proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menyalarkan pengetahuan dari pendidik kepada murid. Pengetahuan sains dari perspektif konsruktivisme adalah penjelasan paling sesuai untuk menguraikan fenomena yang diperhatikan.
Ahli objektivisme berpendapat bahawa kata pemutus tentang apa yang perlu diajar dan siapa yang patut mengajar adalah dibuat oleh `pakar' yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan ramai murid tidak dapat melihat keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak `pakar'. Model autoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting dalam komunitas pendidikan. Murid dan juga orang awam beranggapan guru mempunyai segala jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan berpengetahuan luas.
Dari pandangan ahli konstruktivisme, setiap orang murid mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. penekanan diberi kepada menyediakan murid dengan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkaitkan pengalaman lampau mereka dengan kegunaan masa depan. murid bukan hanya dibekalkan dengan fakta-fakta saja, sebaliknya penekanan diberi kepada proses berfikir dan kemahiran berkomunikasi. Selepas satu sesi perbincangan murid bersama-sama menentukan perkara penting yang harus dipelajari dan tujuan mempelajarinya. Dalam proses ini murid akan mengalami prosedur yang digunakan oleh seorang ilmuwan seperti menyelesaikan masalah dan memeriksa hasil yang diperoleh.


Melalui penggunaan paradigma konstruktivisme, guru perlu mengubah peranannya dalam ilmu sains. Guru mungkin akan berperanan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan. Justru itu guru akan memperolehi kemahiran untuk membina dan mengubah kefahaman serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahawa proses pembinaan dan pengubahsuaian konsep merupakan satu proses berterusan dalam kehidupan.
Dalam paradigma konstruktivisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh berubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri untuk menggunakan pelbagai cara bagi memproses maklumat dan menyelesaikan masalah. Dalam arti kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan murid boleh diumpamakan sebagai hubungan di antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna. Guru tidak boleh belajar untuk murid. Murid yang membina fahaman sendiri.
Kebanyakan teknik penilaian sekarang adalah berdasarkan paradigma objektivisme. Dalam pengujian yang dijalankan, murid akan diuji sama ada dia dapat memberikan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal. Mereka juga dianggap mempunyai tafsiran yang sama dengan pembuat soal tentang apa yang dikehendaki dalam soal itu sendiri. Oleh yang demikan, soal-soal ujian tidak sebenarnya menguji kefahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk membekalkan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal saja.
Menurut teori konstruktivisme, penilaian harus merangkumi cara menyelesaikan masalah dengan munasabah dan pengetahuan. Antara teknik-teknik penilaian yang sedemikian ialah peta konsep, rajah Venn, portfolio, ujian prestasi dan ujian bersama.
Pandangan ahli konstruktivisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli konstruktivisme menganggap peranan guru adalah sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin murid dengan sempurna. murid diterima sebagi individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang perkara-perkara yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih prihatin, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktiviti pembelajaran mereka.
Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahawa guru harus berperanan sebagai pengawal disiplin kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang ditetapkan. Mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi.
Pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri masa/waktu yang diperlukan untuk memperolehi sesuatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kefahaman orang lain supaya kefahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.
Dalam teori konstruktivism, pembelajaran adalah berbentuk kontekstual. Ia berkaitan dengan dunia kehidupan seseorang dan berhubung dengan prejudis dan kebimbingannya. Pembelajaran juga ialah satu aktivitas sosial di mana ia mendukung pembelajaran koperatif dan melibatkan penggunaan bahasa. Ia melibatkan pelajar dengan situasi dunia sebenarnya. Pembelajaran sebagai aktivitas sosial ini juga menggalakkan dialog dan perbincangan sesama pelajar atau antara guru dan pelajar. Satu lagi prinsip pembelajaran ialah ia mengambil masa/waktu. Di sini pelajar perlu diberikan masa yang mencukupi untuk menyelesaikan tugas yang diberi. Ia menekankan pemikiran refleksi dan proses kematangan.
Pembelajaran konstruktivism amat memfokuskan kepada pemahaman pelajar dan prestasinya. Mengikut Alessi & Trollip (2001), ia mempunyai asas dalam kognitif bersituasi dan perkaitan dengan pengajaran bertumpu. Pendekatan pembelajaran secara konstruktivism dapat dibagikan kepada lima format yaitu:
a. Penglibatan : Simulasi perasaan ingin tahu pelajar melalui pemberian suatu tugasan, topik atau konsep, memupuk minat dan membangkitkan persoalan.
b. Penjelajahan : Adalah bertujuan untuk memuaskan perasaan ingin tahu melalui penggunaan pendekatan inkuiri untuk menjelajah dan menyiasat, melalui eksperimen, menggalakkan pelajar untuk bekerjasama dan menyoal.
c. Penerangan: Pendekatan yang melibatkan definisi konsep dan penyataan. Pertanyaan tentang penerangan orang lain dan membuat pertimbangan dan penjelasan.
d. Penghuraian: Memperdalamkan lagi konsep ke dalam sudut kandungan yang lain. Pelajarakan menghubungkaitkan dan melihat perhubungan sesuatu konsep atau topik dalam sudut kandungan yang lain dan membuat perkiatan dengan konsep/ topik ke dalam situasi dunianya.
e. Penilaian: Menilai pemahaman pelajar melalui demontrasi pemahaman dan kemahiran atau konsep pengetahuan. Mengakses pengetahuan pelajar dan kemahiran dan konsep. Mengemukakan soalan terbuka (contoh: Apa yang sedang anda fikirkan?)
Konstruktivis bertumpu kepada pembelajaran melalui konteks penyelesaian masalah yang relevan dengan dunia realitas. Pelajar perlu memperolehi pengetahuan dan kemahiran yang relevan dengan penyelesaian masalah ( Jonassen et al. 1993 dalam Bolye, 1997:71). Video digunakan untuk mewujudkan situasi kes berasaskan masalah tentang “ realitas hidup” Pendekatan ini memastikan aktivitas penyelesaian masalah adalah dimasukkan dalam pembelajaran.
Interaksi sosial dilihat sebagai asas sumber bahan bagi pembentukan kognitif bahawa manusia membuat persepsi tentang dunia. Dialog dan perundingan tentang makna menjadi asas kepada individu untuk berkembang, menguji dan memperhalus idea mereka. Terdapat dua elemen utama untuk membina pembelajaran berbentuk interaktif dan konteks sosial (Cunningham et al, 1993 dalam Bolye, 1997:73). Elemen ini memokus kepada tutor, hubungan pelajar dan kumpulan rakan sebaya. Ia melibatkan dua proses iaitu “scaffolding” dan “fading”. Ini bermakna guru merupakan jurulatih dan fasilitator di mana dia akan membimbing pelajar memperolehi kemahiran yang ingin dipelajari dan pengetahuan. Guru akan menjadi sumber pelajar dalam memberi bimbingan, komentar dan membuat demontrasi. Setelah itu guru akan mengurangkan bantuannya secara perlahan yang dikenali sebagai proses “fading”. In akan memaksa pelajar menjadi lebih berdikari dalam aplikasi kemahiran dan pengetahuan mereka dan akhir sekali diikuti oleh penyelesaian masalah dalam domain ini.
Penekanan kepada pembelajaran tulen dan dialog sosial merupakan asas kepada pengalaman dengan proses pembinaan pengetahuan. Ahli konstruktivis mempertikaian bahawa pengalaman dan kemahiran dalam proses membina pengetahuan adalah lebih penting. Ini bermakna mempelajari cara belajar, cara mengkonstruk dan memperhaluskan makna baru adalah lebih penting.
Ia merupakan gol utama dalam pendekatan konstruktivism yang agak sama dengan idea metakognisi. Penyelesaian masalah melibatkan proses yang memaparkan masalah dan pencarian penyelesaiannya. Metakognisi merupakan proses aras tinggi dalam membuat refleksi ke atas pemikiran sendiri dan proses penyelesaian masalah di mana Cunningham merujuk kebolehan ini sebagai reflektiviti.

F. KESIMPULAN
Ilmu pengetahuan murid tidak semuanya berasal dari wujud secara bebas dalam lingkungan yang diserap ke dalam fikiran murid melalui pengalaman pancaindera, atau kewujudan pengetahuan dalam mental, tetapi ilmu pengetahuan itu diperoleh dengan cara membina sendiri oleh setiap murid melalui pengalaman, renungan dan pengabstrakan.
Paparan mengenai pragmatism dalam dunia pendidikan lebih condong pada orientasi baru dalam psikologi belajar dalam bentuk konstruktivism. Dimana, konstruktivism merupakan idea bahwa pembelajaran melibatkan pembinaan skema pengetahuan seseorang individu yang dicapai melalui proses keseimbangan ( Reiber,1994). Keseimbangan ini dicapai melalui proses akomodasi dan assimilasi di mana skema pengetahuan baru dibentuk melalui penstrukturan semula skema pengetahuan baru dengan skema pengetahuan yang tersedia. Pendekatan ini menggalakkan pembelajaran induktif berdasarkan penemuan yang melibatkan isi pelajaran dengan lebih lanjut, menguji idea, membina dan menguji hipotesis.
Konstruktivism merupakan paradigma yang dominan dalam rekabentuk dan pembinaan, di mana ia mempunyai asas yang kuat dalam bidang psikologi pembelajaran dan perkembangan kognitif. Pendekatan ini menekankan penyediaan sumber untuk pelajar membina pengetahuan sendiri. Dalam pendekatan BIG (Beyond the Information Given) pelajar dibekalkan dengan tugas yang terarah untuk pembentukan pengetahuan.
Adanya gabungan elemen-elemen pendekatan lain seperti behaviorism, kognitivism dan konstruktivism serta pendekatan lain amat diperlukan dan ini juga bergantung kepada hasil, jenis pengguna dan kandungan didalamnya. Dalam satu duni pendidikan yang lengkap, perlu melibatkan penggunaan teknologi bersama komponen lain seperti guru, pelajar, buku dan media lain.















DAFTAR PUSTAKA

Noeng, Muhadjir. Filsafat Ilmu, Positivisme dan PostModernisme
Pusat Perkembangan Kurikulum. 1991. Pembelajaran secara Konstruktivisme. Kuala Lumpur: Kementerian Pendidikan Malaysia.
http://planet.time.net.my/KLCC/azm01/teori/Teori_Pembelajaran_Konstruktivism.htm
http://www.teachersrock.net/teori_kon.htm


ASUMSI
(Masalah Pendidikan Bukan Semata Tergantung Besarnya Anggaran)

A. Asumsi idealis

Diambil dari salah satu tulisan tentang isu pendidikan mengenai ”Masalah Pendidikan Bukan Semata Tergantung Besarnya Anggaran”

Masalah Pendidikan Bukan Semata Tergantung Besarnya Anggaran
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah menegaskan persentase dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk dialokasikan bagi pembiayaan pendidikan. Niat baik di balik amandemen itu adalah kesadaran bahwa dunia pendidikan memerlukan pembenahan yang mendasar dan sungguh-sungguh.
”Anggaran pendidikan telah meningkat demikian besar. Alokasi APBN untuk Depdiknas merupakan alokasi paling besar yang diberikan kepada lembaga pemerintahan, kenaikannya sangat signifikan. Namun tentu saja masalah pendidikan bukan semata-mata tergantung kepada besarnya anggaran,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Simposium Nasional Pendidikan dan Ketenagakerjaan di Istana Negara, Jakarta pada hari ini.
Hadir mendampingi Presiden SBY pada pembukaan simposium Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo serta Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno. Simposium dengan tema Menentukan Arah Pembangunan Nasional digagas oleh organisasi kemahasiswaan diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI ), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Presiden SBY menyampaikan, hal-hal lain yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan perlu dibenahi. Menurut dia, perlu membangun fasilitas pendidikan yang memadai. Selain itu, menyediakan tenaga guru dan dosen yang memiliki kualitas serta kemampuan yang tinggi. Lebih dari itu, lanjut dia, kurikulum pendidikan nasional juga harus terus menerus dilakukan evaluasi agar tetap sejalan dengan kebutuhan perubahan zaman dan tantangan masa depan. ”Agar output pendidikan sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja yang tersedia di negeri kita, baik di sektor pertanian, industri, maupun di sektor jasa,” ujarnya.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya, kata SBY, adalah menyadarkan para orang tua tentang betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. ”Sesungguhnya hanya pendidikan lah yang akan mampu mengubah masa depan seseorang. Setiap orang tua hendaknya berpikir bahwa nasib anak-anak mereka lebih baik dari nasib mereka sekarang,” katanya.
SBY mengatakan, sekarang pemerintah telah membebaskan biaya pendidikan bagi keluarga miskin. Pemerintah juga telah memberikan bantuan operasional sekolah ( BOS ) agar kendala biaya dan fasilitas pendidikan dapat diatasi. ”Di berbagai daerah bahkan, yang saya kunjungi, yang saya cek di lapangan, pemerintah daerah telah membebaskan biaya pendidikan hingga jenjang SMA. Demikian juga kesehatan, diharapkan makin berkualitas, murah, dan gratis. Rakyat miskin bebas berobat di Puskesmas dan di rumah sakit kelas III , ” ujarnya.
Lebih lanjut SBY mengatakan dunia pendidikan dan dunia ketenagakerjaan adalah dua dunia yang saling berhubungan secara fungsional. Menurut dia, masalah yang terjadi pada dunia ketenagakerjaan tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terjadi pada dunia pendidikan. ”Dunia ketenagakerjaan memiliki paradigma dan logika tersendiri yang dalam prakteknya tidak selalu sejalan dengan paradigma dan logika dunia pendidikan. Dan ini bukan hanya di negeri kita,” ujarnya.
Lebih jauh SBY mengatakan pertumbuhan dunia ketenagakerjaan tidak pula selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan dunia pendidikan. ”Itulah sebabnya kita harus terus mencurahkan perhatian dan pemikiran untuk merumuskan sistem kebijakan dan formula yang tepat agar dapat mensinergikan dua dunia yang berbeda namun saling terkait ini,” katanya.
Setiap tahun, kata SBY, pasar tenaga kerja dibanjiri jutaan tenaga kerja baru. Dia mengatakan, jumlah angkatan kerja baru jika dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja setiap tahunnya selalu mengalami kesenjangan. Angkatan kerja bertambah terus, baik yang berpendidikan SMA maupun sarjana, bahkan lulusan SMP dan SD. Menurut dia, hal ini bukan semata-mata disebabkan oleh kurang sesuainya pendidikan dan ketenagakerjaan, tetapi juga karena tidak mudahnya membuka lapangan pekerjaan baru. ”Membangun dan memperluas lapangan kerja harus dikerjakan bersama-sama oleh pemerintah dan dunia usaha,” katanya.
Kepada peserta yang hadir, SBY mengajak untuk mengembangkan segitiga tanggung jawab, yakni pihak pemerintah, lembaga pendidikan, dan pasar tenaga kerja atau jasa yang menyerap hasil pendidikan.* **http://www.depdiknas.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=120&Itemid=2




























B. Landasan Empirik

1. Ontologi

Terhadap kondisi pendidikan yang semakin terpuruk tersebut, C.E. Beeby mencatat ada 2 (dua) hambatan utama dalam upaya meningkatkan bidang pendidikan di Indonesia. Pertama, kurangnya biaya dan perlengkapan yang bisa dibeli dengan uang. Kedua, hambatan-hambatan yang bukan material sifatnya, di mana penambahan uang tidak akan segera memperlihatkan efeknya. Hal tersebut sejalan dengan salah satu temuan penting dari studi empiris terhadap referensi pencapaian Human Development Index versi UNDP, yaitu pembiayaan pendidikan di suatu negara terbukti memberikan pengaruh sangat positif dan signifikan terhadap kinerja pendidikan nasional di negara-negara bersangkutan.

Satu dari sekian masalah utama namun klasik yang selalu membelit sistem pendidikan di Indonesia adalah rendahnya anggaran pendidikan yang disediakan oleh negara. Rendahnya anggaran pendidikan itu diyakini sebagian kalangan sebagai akar utama buruknya pendidikan nasional. Alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10% dari APBN, dinilai sebagai cermin tidak adanya political will pemerintah terhadap dunia pendidikan. Padahal dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi (constitutional obligation) untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Demikian pula ditegaskan kembali dalam UU organiknya yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan harus dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.

Berbagai peristiwa nonpekerti seperti misalnya kecurangan UN oleh para tenaga pendidik bak awan pekat yang menyelimuti pendidikan bangsa ini. Di lain pihak, berbagai prestasi gemilang mampu diukir putra-putri terbaik Indonesia di pentas internasional, sebutlah salah satunya aksi Mahasiswi Indonesia yang mampu merebut the best oralist peradilan semu internasional. Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kualitas SDM Indonesia tidaklah seburuk apa yang kita bayangkan. Lalu dimanakah sesungguhnya letak kesalahan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita selama ini?

Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memposisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan oleh banyak pihak. Kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belumlah dipenuhi hingga saat ini. Oleh karenanya, putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan tanggal 1 Mei lalu dengan menyatakan bahwa pengalokasian anggaran pendidikan oleh pemerintah sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi bertentangan dengan UUD, merupakan “kado istimewa” di suasana hari pendidikan nasional.
Namun demikian, hal tersebut akanlah menjadi sekedar “kartu ucapan” kosong tatkala pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional di masa yang akan datang. Pasalnya, inilah putusan ketiga yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah terkait dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Dua buah “kartu kuning” yang telah dikeluarkan sebelumnya, rupanya tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Pemerintah seakan-akan selalu berlindung di balik kelemahan putusan yang tidak mempunyai sanksi hukum tegas bila tidak dilaksanakan (lex imperpecta).

Terhadap anggaran pendidikan yang kian tahun kian membesar tidaklah dapat dijadikan rujukan satu-satunya untuk menilai bahwa pemerintah telah menunjukan komitmennya secara serius. Sebab di saat yang bersamaan, kenaikan juga terjadi pada sektor-sektor lainnya, bahkan ada yang jauh lebih besar dari sektor pendidikan itu sendiri. Sehingga posisi persentase anggaran pendidikan tidak bergeser naik jauh dari tahun-tahun sebelumnya.Selain tidak dipatuhinya dua kali putusan Mahkamah, lemahnya komitmen ditunjukan pula dengan terjadinya perubahan skenario anggaran secara sepihak terhadap kesepakatan yang pernah dibuat antara Pemerintah dengan komisi Komisi X DPR RI. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPD RI berdasarkan Keputusan No. 26/DPD/2006 agar pemerintah berupaya menggunakan sisa anggaran tahun lalu sebesar 57 triliun untuk anggaran pendidikan tidak juga direspon dengan cukup baik. Begitu pula dengan surat khusus yang disampaikan oleh Sekjen Education International (EI), Fred van Leuwen, kepada Presiden yang sengaja “menyentil” kebijakan pemerintah dengan membandingkan anggaran pendidikan negara tetangga yaitu Malaysia (20%) dan Thailand (27%), belum juga berbuah hasil. Indikasi lemahnya komitmen ini juga dirasakan oleh Mahkamah dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal.

2. Epistomologi

a. Aktifisme KonstitusionalDaya upaya segenap pihak yang peduli akan nasib pendidikan bangsa ini telah dilakukan lewat berbagai cara. Tetapi lemahnya kesadaran hukum (lawlessness) para pejabat negara untuk mematuhi ketentuan konstitusi menyebabkan upaya tersebut menjadi tidak maksimal. Perlu usaha ekstra keras untuk mewujudkan cita-cita para founding fathers dalam hal pemenuhan anggaran pendidikan ini. Agar hal tersebut bukan sekedar menjadi impian semu para generasi mendatang, cara-cara konvensional harus pula ditunjang dengan aktifisme konstitusional (constitutional activism) lainnya.

Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita dalam menindaklanjuti hal ini, antara lain :Kesatu
Dalam hal memperjuangkan hak pendidikan melalui ranah yudisial – khususnya dalam bidang anggaran – hingga saat ini masyarakat masih terpaku pada pergulatan di arena Mahkamah Konstitusi. Padahal sebenarnya, upaya yang sama dapat pula dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Daerah di wilayahnya masing-masing yang dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas ke hadapan Mahkamah Agung.Peluang ini sangatlah terbuka lebar melalui pintu Pasal I Angka 20 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU Sisdiknas telah termaktub juga berbagai hak warga negara guna memperoleh pembebasan biaya pada jenjang pendidikan dasar (Pasal 34), kewajiban dan jaminan dari Pemerintah Daerah atas tersedianya dana pendidikan untuk warga negara berusia 7 s.d.15 tahun (Pasal 6), Pengalokasian dana pendidikan minimal 20% dari APBD (Pasal 49), serta berbagai jaminan pendidikan lainnya.
Praktik yudisial seperti ini sudah sangatlah lazim dilakukan di pengadilan India. Sehingga kunci pemerataan kesempatan dan pesatnya pendidikan India juga dimotori oleh dukungan putusan Pengadilannya. Bahkan dalam putusan terakhirnya (29/03), Mahkamah Agung India mampu memutuskan untuk menyediakan reservasi bangku perguruan tinggi ternama sebesar 27% khusus kepada kelas masyarakat terbelakang (other backward classes).Kedua
Alasan yang dikemukakan oleh Komisi X DPR bahwa RUU APBN yang datang dari pemerintah sejak semula tidak mempunyai goodwill tidaklah dapat diterima. Melepaskan tanggung jawab bukanlah solusi yang dinanti rakyat banyak. Sebab bagaimanapun juga anggaran adalah hasil bersama antara Pemerintah dengan DPR secara institusional.Kewenangan legislative review yang dimilik oleh mereka seharusnya dapat difungsikan secara maksimal. Jikapun mereka benar-benar mau memperjuangkan aspirasi rakyatnya, terhadap kondisi yang sangat memperhatinkan ini, maka patutlah sesegera mungkin untuk membentuk Pansus Anggaran Pendidikan guna mengatasi berlarut-larutnya pelanggaran konstitusi secara berjamaah ini.Ketiga
Mahkamah Konstitusi sebagai ”pengawal konstitusi” harus pula ditafsirkan sebagai lembaga yang befungsi untuk mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran konstitusi. Terhadap adanya kemungkinan berulangnya pelanggaran konstitusi yang sama, kiranya Mahkamah harus pula menempuh langkah untuk mengontrol efektifitas putusannya agar dijalankan oleh Pemerintah.Berbeda dengan praktik ketatanegaraan Jerman, efektifitas putusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) biasanya ditopang dengan adanya kekuataan oposisi yang mendorong Pemerintah berkuasa untuk melaksanakan putusan Mahkamah. Sayangnya alam demokrasi dan praktik ketatenegaraan seperti ini belum terbangun dengan baik di negara kita. Oleh karenanya, salah satu cara yang dapat ditempuh Mahkamah untuk saat ini yaitu dengan mengingatkan Presiden dan/atau DPR dengan mengirimkan surat resmi sebagaimana pernah dilakukannya dalam kasus BBM beberapa waktu yang lalu.Ketiga cara tersebut kiranya dapat dipertimbangkan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga negara terkait. Jika kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional ini telah terbangun dalam sistem kehidupan berdemokrasi kita, niscaya seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat akan bersatu-padu guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi. Karena hanya dengan hal tersebutlah bangsa ini akan bangkit dan keluar dari krisis multi-dimensi yang tengah mendera selama satu dasawarsa terakhir.b. Kebijakan pemerintah

Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita.

Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk mengalokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6%. Tahun 2005, jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29% dan tahun ini, rencananya akan dialokasikan 12,01%, 14,60% untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi 17,40% dan 20,10%.

c. Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan

Proses permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) sebanyak dua kali kepada Mahkamah Konstitusi (MK) selaku Lembaga Negara pengawal konstitusi, yaitu UU APBN 2005 dan UU APBN 2006. Terjadinya permohonan Judicial Review atas pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersifat fundamental tersebut dapat kita katakan sebagai pertanda bahwa telah terjadi suatu permasalahan yang sangat krusial, bahkan Mark Elliot dalam bukunya “The Constitutional Foundations” memaknai judicial review sebagai tindakan warga negara dalam mencari keadilan yang hakiki yang tidak boleh dianggap sepele oleh siapa pun.

Putusan tersebut sangat tepat tatkala kita melakukan penafsiran konstitusi (constitutional interpretation) terhadap rumusan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”, maka tidak akan membuka adanya kemungkinan penafsiran lain selain bahwa negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD dengan prioritas dimaksud haruslah sekurang-kurangnya 20% (duapuluh persen) dari APBN serta dari APBD.

Bahkan, terkait dengan alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah mengatakan bahwa Pemerintah hanya akan menaikkan anggaran pendidikan maksimal menjadi 10 persen dari APBN. Hal itupun ditegaskan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya dihadapan anggota DPR dan DPD bahwa pada tahun 2007 nanti sektor pendidikan hanya akan mendapatkan alokasi sebesar 10,3 persen dari total belanja pemerintah pusat. Rencana kebijakan tersebut diambil dengan berlindung pada salah satu argumentasi utama bahwa pemerintah sudah mendasarkan komitmen untuk tidak menaikkan tarif dasar listrik (TDL) untuk periode 2006 sehingga anggaran pendidikan tidak dapat seluruhnya dipenuhi. Menjadi pertanyaan kita bersama, hanya inikah jalan keluar yang dapat dipikirkan oleh Pemerintah guna mengatasi krisis pendidikan nasional?

Rencana menaikkan alokasi anggaran pendidikan sekedarnya guna menghindar ”vonis mati” dari Mahkamah Konstitusi telah mencerminkan bahwa Pemerintah tidak cukup serius dalam melaksanakan amanat UUD 1945 dan harus dipandang tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 (the spirit of constitution) dan moralitas konstitusi (constitutional morality). Dengan kata lain, jika komitmen pemerintah terhadap dunia pendidikan tidak kunjung berubah, maka masih akan terjadi pelanggaran konstitusi secara berjamaah pada tahun-tahun anggaran mendatang dan bisa dipastikan akan kembali terjadi krisis konstitusi yang berakibat pada turunnya kepercayaan masyarakat, khususnya kalangan terpelajar dan akademisi, terhadap legitimasi Pemerintah saat ini.

d. Political Will

Untuk mengkaji mengenai pelaksanaan kemauan politik (political will) pemerintah di bidang pendidikan, untuk sekedar melakukan refleksi kembali perjalanan dunia pendidikan dari awal kemerdekaan. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau setidaknya mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode tahun 1908-1945 ditandai dengan kehadiran para pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan di bidang pendidikan, sehingga mereka dapat dipandang sebagai tokoh sekaligus pemimpin politik yang pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo kala itu begitu yakin bahwa pendidikan merupakan solusi utama guna mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan. Demikian pula dengan Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun begitu dalam filosofinya: Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani, yang artinya “di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi”.

Begitu pula di awal masa kemerdekaan, masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita membuka kembali lembaran sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.

Bahwasanya antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis tersebut, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, sebenarnya institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan bermain.

Oleh karena itu cukup beralasan dan patut pula kita renungkan kekhawatiran dari Daniel Moh. Rosyid, selaku Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur sekaligus Tenaga Ahli Menristek, yang sedikit menaruh kecurigaan bahwa kebijakan pendidikan yang tidak bermutu dan tidak kunjung berubah ini bisa jadi disengaja oleh para elite yang kini berkuasa di eksekutif maupun legislatif. Sebab, warga negara yang cerdas akan membuat posisi mereka mudah terancam dan money politics dengan berbagai variannya akan serta merta ditolak oleh warga negara yang terdidik. Rasa pesimistis tersebut akan sejalan apabila kita hubungkan dengan pendapat dari Henry Peter yang mengatakan, “Education makes people easy to lead, but difficult to drive; easy to govern, but impossible to enslave”.






e. profesionalisme guru

Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :

1. Sertifikasi sebagai sebuah sarana

Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesuai dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.

2. Perlunya perubahan paradigma

Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).

3. Jenjang karir yang jelas

Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.



4. Peningkatan kesejahteraan yang nyata

Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan.

C. penutup

Peran dan kedudukan yang sangat strategis dalam pemba-ngunan nasional dianggap kurang tertata sehingga diperlukan aturan yang sifatnya lebih kuat yaitu sebuah UU. Jika UU ini ideal maka tentunya tidak hanya menguntungkan guru (kelompok) dalam arti hanya menigkatkan harkat guru tetapi seharusnya menguntungkan semua pihak khususnya peserta didik (umum). Dengan demikian berarti dengan lahirnya UU Guru diharapkan mutu pendidikan melalui pening-katan kinerja guru dan keprofesionalannya menjadi fokus perhatian yang harus diuraikan secara mendalam dalam bab kewajiban di UU ini.

Jika arah dan tujuan UU ini akan menigkatkan mutu pendidikan maka otomatis UU ini akan lebih banyak mengatur kriteria dan kewajiban guru atau beban kerja guru dalam rangka peningkatan kinerja dan profesionalismenya.
Adanya kemitraan yang berbasis masyarakat dapat memecahkan berbagai masalah sosial yang menjadi penghambat siswa belajar, antara lain :
1. Civic Organizations, masyarakat membentuk organisasi sosial untuk membantu atau mendirikan sekolah dengan cara membantu memberikan beasiswa, fasilitas belajar atau pelayanan pendidikan.2. Volunteer Mentor Programs, membentuk program mentorship yang beranggotakan para orang tua, pelaku bisnis, profesional pendidikan, sukarelawan dan lain sebagainya untuk membantu masalah yang dihadapi sekolah seperti pencegahan drop out siswa, peningkatan kualitas sekolah, membangun kepercayaan siswa.3. Corporate Education Partnerships, kerjasama dengan berbagai perusahaan dengan memberikan beasiswa, membuat pilot project untuk meningkatkan kemampuan guru dan sekolah, memberikan bantuan baik materi maupun non materi berupa fasilitas belajar dan bantuan para ahli manejemen pendidikan, dan lain sebagainya.












DAFTAR PUSTAKA
Mohamad Faiz, Pan. Menanti ”Political Will” Pemerintah di Sektor Pendidikan, http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/political-will-pendidikan-indonesia.html
Mohamad Faiz, Pan. Polemik Inkonstitusional anggaran Pendidikan, http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/10/political-will-pendidikan-indonesia.html
Mudyahardjo. R (1998). Filsafat llmu Pendidikan Dan Pengembangan Fakultas llmu Pendidikan. Jurusan FIP IKIP Bandung.
Surakmand W, Prof. (2000). Peta Problematik Pendidikan Nasional dan Segi Kebutuhan Reformasi. Makalah Pokok-Pokok Kuliah Perdana Program Akta IV FKIP, Univ, UHAMKA.
Sondakh, Angelina. Profesionalisme Guru sebagai sebuah Kebutuhan, http://www.angelinasondakh.com/Articles/Education/Home%20Schooling/MEMBANGUN%20PROFESINONALISME%20GURU.doc

http://www.ri.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3624&Itemid=700



RESUME
(KONSEP INFORMAL, KETERAMPILAN VERBAL DAN KETERAMPILAN MOTORIK)

INFORMASI VERBAL
Informasi verbal yaitu informasi yang dinyatakan secara verbal (dengan menggunakan kata-kata) atau Informasi Verbal dapat dikatakan sebagai kemampuan menyatakan atau menceritakan suatu fakta atau ide dalam bentuk proposisi.

Informasi verbal merupakan informasi yang dapat diverbalisasi. Karena merupakan unjuk kerja kemanusiaan, perbuatan dan kapabilitas, maka dapat menunjukkan atau untuk menyatakan fakta atau pokok pikiran dalam bentuk proposisi dan dapat dinyatakan dalam bentuk produksi dan citra (bayangan), tidak hanya disimpan dalam bentuk proposisi.

Jenis-jenis Informasi Verbal
a. Belajar nama atau Label
Label merupakan nama dari sebuah objek atau nama benda atau satu himpunan. Ada dua cara dalam mempelajari Label, yaitu
a. Belajar asosiasi berpasangan
b. Penyimpangan label dalam memori
b. Belajar Fakta
Belajar dari fakta yang lebih dari sekedar untaian kata-kata, tetapi urutan kata-kata yang membentuk kalimat dan dipelajari secara lebih cepat dan akan jauh lebih mudah untuk diingat kembali daripada senarai kata-kata yang tidak berhubungan secara bermakna.
c. Belajar Pengetahuan Verbal Terorganisir Secara Bermakna
Belajar dalam membaca sebuah naskah memerlukan kemampuan pengetahuan verbal yang terorganisir, sehingga bahan ajar dari membaca naskah itu sendiri harus diperhatikan karena akan memberi pengaruh secara langsung.
d. Organisasi dengan Skema
Skema adalah kumpulan gagasan/pokok pikiran dan hubungan di antara gagasan-gagasan yang membentuk satu kategori dan dapat dimengerti si pelajar. Skema dapat berupa struktur pengetahuan dan bersifat abstrak untuk setiap gagasan yang dikandungnya.






Kondisi Belajar Informasi Verbal
1. Kondisi Internal
Pengetahuan telah terorganisir (skema, struktur kognitif) dan memiliki strategi enconding (aturan-aturan dalam pembangunan konsep dan proposisi).

2. Kondisi Eksternal
Peristiwa-peristiwa di lingkungan yang mendukung terjadinya proses belajar di dalam diri si pelajar. Adanya peristiwa kritis untuk belajar informasi verbal dapat mengaktifkan dan mempertahankan proses pengkodean, penyimpanan dan retrival.

Implikasi Pendidikan
Kegunaan Informasi Verbal menjangkau sepanjang masa, karena kita memerlukan banyak fakta dan objek sehari-hari. Informasi verbal juga sebagai komponen dalam belajar jenis kapabilitas yang berkaitan dengan keterampilan intelek yang dipelajari. Penggunaan kemampuan verbal dapat pula sebagai wahana berpikir sehingga kemampuan kita semakin banyak. Hal penting dalam hal ini adalah perlunya memiliki struktur pengetahuan yang lebih besar jumlahnya dalam memori yang terwujud dalam bentuk material dan prosedur pembelajaran.

KETERAMPILAN INTELEKTUAL
Keterampilan Intelektual adalah kemampuan yang memungkinkan digunakannya lambang (symbolis).

Jenis-jenis Keterampilan Intelektual :
1. Diskriminasi
Membuat diskriminasi sangat penting sehingga memiliki kemampuan membedakan.
2. Konsep ; konkret, terdefinisi
konsep ada untuk membangun sebuah defenisi baik secara konkret ataupun terdefinisi, sehingga komponen konsep dapat dipelajari dan dipahami







KETERAMPILAN MOTORIK
Keterampilan motorik merupakan aktivitas yang memerlukan gerakan otot. Gerakan tersebut ada sejak lahir, menetap dan sebagian merupakan hasil belajar. Perkembangannya dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Jika dipelajari dan bertambah, maka akan menjadi kompleks.

Dimensi Perbuatan Motorik
1. Halus lawan kasar (sejumlah jaringan otot tubuh yang dilibatkan dalam perbuatan)
2. Kontinue lawan diskrit (memiliki kekhasan, dimana gerakan khusus dibuat dalam merespon stimulus eksternal, membuat penyesuaian dan koreksi secara terus menerus untuk mengkombinasikan stimuli)
3. Terbuka dan tertutup (tergantung internal feedback dari otot sebagai pedoman stimuli dan memerlukan pelaksana rutin ataupun program motorik)

Kondisi Belajar Keterampilan Motorik
Tiffs dan Rosner (1967) membedakan 3 fase pokok, antara lain :
a. Fase awal atau kognitif
b. Menengah atau fase assosiasi
c. Akhir atau fase otonomi

Implikasi Terhadap Pendidikan
Pada tingkat TK dan SD keterampilan motorik lebih terlihat dalam pendidikan jasmani dan kegiatan olahraga. Tetapi tetap diperlukan keterampilan intelektual dan prosedur kemampuan motorik sehingga memerlukan rencana pelaksanaan motorik secara rutin.

Hal lain yaitu berkaitan tentang kemampuan dalam memahami instruksi verbal dalam bentuk gambar dan mendemonstrasikan, yang memiliki 2 fungsi :
1. Pelaksanaan secara rutin bisa dipelajari
2. Gambar-gambar sebagai isyarat eksternal








DAFTAR PUSTAKA

Bloom, B.S. editor. Taxonomy Of Educational Objectives. The Clasisification Of Educational Goals. Handbook I. Cognitive Domain London : Longman Group, Ltd. 1956.

Blomm, B.S. Krathwohl, D.R. & Masai, B.B. Taxonomy Of Educational Objective. Book 2. Affective Domain London : Longman Group, Ltd. 1973.

Slavin, Robert E. Educational Psychology: Theory and Practice (Development During Childhood and Adolescence). Allyn and Bacon Paramount Publishing, Massachusetts, 1994.

Rahardjo, Budi. Drs. Orientasi Baru Dalam Psikologi Belajar. Program Pascasarjana Kependidikan Universitas Mulawarman. April. 2006

Suciati. Taksonomi Tujuan Intstruksional Dalam Mengajar Di Perguruan Tinggi Bagian Satu Program Applied Approach. Pusat Antar Universitas-Dikti, Depdikbud. 1997.





MAKALAH
KONSEP BELAJAR DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Teori Belajar Kogntif : Konsep Dasar dan Strateginya
Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Teori ini disampaikan oleh Jerome Bruner (1966). Merupakan suatu pendekatan dalam belajar, dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan.

Ide dasar dari teori ini adalah siswa akan mudah mengingat suatu konsep jika konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar penemuan. (Prinsip belajar : selidiki/inquiri dan temukan/discover).

Jerome Bruner juga memperkenalkan konsep perkembangan kognisi anak-anak yang mewakili 3 bentuk representasi :
1. Enactive
Pengetahuan anak diperoleh dari aktivitas gerak yang dilakukannya seperi pengalaman langsung atau kegiatan konkrit
2. Iconic
Masa ketika pengetahuan anak diperoleh melalui sajian gambar atau grafis lainnya seperti film dan gambar statis.
3. Symbolic
Suatu tahap dimana anak mampu memahami atau membangun pengetahuan melalui proses bernalar dengan menggunakan simbol bahasa seperti kata-kata atau simbolisasi abstrak lainnya.

Teori Belajar Bermakna
Teori yang disampaikan oleh David Ausebel (1969). Beliau berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kongitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Bermakna yaitu materi pelajaran yang baru match dengan konsep yang ada dalam struktur kognisi siswa.



Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausebel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama meraka yang berada di tingkat pendidikan dasar akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun siswa pada pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.

Langkah-langkah yang biasanya dilakukan untuk menerapkan belajar bermakna Ausebel sebagai berikut :
1. Advance Organizer (Handout)
Penyampaian awal tentang materi yang akan dipelajari siswa diharapkan siswa secara mental akan siap untuk menerima materi kalau mereka mengatahui sebelumnya apa yang akan disampaikan guru.
2. Progressive Differensial
Materi pelajaran yang disampaikan guru hendaknya bertahap. Diawali dengan hal-hal atau konsep yang umum, kemudian dilanjutkan ke hal-hal yang khusus, disertai dengan contoh-contoh.
3. Integrative Reconciliation
Penjelasan yang diberikan oleh guru tentang kesamaan dan perbedaan konsep-konsep yang telah mereka ketahui dengan konsep yang baru saja dipelajari.
4. Consolidation
Pemantapan materi dalam bentuk menghadirkan lebih banyak contoh atau latihan sehingga siswa bisa lebih paham dan selanjutnya siap menerima materi baru.

Model Pemrosesan Informasi
Teori ini disampaikan oleh Robert Gagne (1970) dan berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya.

Terdapat 8 tingkatan kemampuan belajar, dimana kemampuan belajar pada tingkat tertentu ditentukan oleh kemampuan belajar ditingkat sebelumya. Adapun 8 tingkatan belajar tersebut antara lain :





1. Signal Learning
Dari signal yang dilihat/didengarnya, anak akan memberi respon tertentu.
2. Stimulus – Response Learning
Seorang anak yang memberikan respon fisik atau vokal setelah mendapat stimulus – respon yang sederhana
3. Chaining
Kemampuan anak untuk menggabungkan dua atau lebih hasil belajar stimulus – respon yang sederhana. Channing terbatas hanya pada serangkaian gerak (bukan serangkaian produk bahasa lisan.
4. Verbal Association
Bentuk penggabungan hasil belajar yang melibatkan unit bahasa seperti memberi nama sebuah objek / benda.
5. Multiple Discrimination
Kemampuan siswa untuk menghubungkan beberapa kemampuan chainning sebelumnya.
6. Concept Learning
Belajar konsep artinya anak mampu memberi respon terhadap stimulus yang hadir melalui karakteristik abstraknya. Melalui pemahaman konsep siswa mampu mengidentifikasikan benda lain yang berbeda ukuran, warna, maupun materinya, namun masih memiliki kararkteristik dari objek itu sendiri.
7. Principle Learning
Kemampuan siswa untuk menghubungkan satu konsep dengan konsep lainnya.
8. Problem Solving
Siswa mampu menerapkan prinsip-prinsip yang telah dipelajari untuk mencapai satu sasaran.












Adapun terdapat tiga komponen utama dalam pemrosesan informasi, yaitu :

MEMORI JANGKA PENDEK
MEMORI JANGKA PANJANG
REGISTER PENGINDERAAN


Penyebab lupa yang terjadi pada proses interferensi, yaitu :
PENYEBAB LUPA
Hambatan Proaktif : Dimana berinterferensi dengan tugas yang dipelajari kemudian
Hambatan Retroaktif : Dimana apabila mempelajari suatu tugas kedua membuat seseorang lupa apa yang telah dipelajari sebelumnya

Strategi Kognitif
Strategi kognitif merupakan keterampilan yang terorganisasi dari dalam yang fungsinya untuk mengatur dan memonitor penggunaan konsep dan aturan atau kemampuan internal yang terorganisasi yang dapat membantu siswa dalam proses belajar, proses berpikir, memecahkan masalah dan mengambil keputusan (Gagne, 1974).






Stretegi kognitif merupakan kemampuan tertinggi dari domain kognitif (Gagne’s Taxonomy) setelah analisis, sintesis dan evaluasi (Bloom Taxonomy).

Adapun jenis Strategi Kognitif, antara lain :
1. Strategi memperhatikan dan melakukan pengamatan secara efektif
2. Strategi meng-encode materi yang dihadapi untuk penyimpanan jangka panjang (image forming, focusing, scanning dsb)
3. Strategi mengingat kembali (retrival), (mnemonic system, visual images, rhyming)
4. Strategi pemecahan masalah

Pemerolehan Strategi Kognitif
Pemerolehan kerapkali segera diperoleh dan penggunaannya makin dapat diandalkan melalui latihan dan praktek.

Kondisi belajar untuk strategi kognitif, ditentukan oleh dua hal :
1. Kondisi dalam diri pelajar
Memahami konsep dengan mengatakan berkali-kali dalam hal menghafal
2. Kondisi dalam situasi belajar
Strategi yang berorientasi pada tugas dan ditemukan sendiri oleh pembelajar

Cognitive Development Model
Model ini disampaikan oleh Jean Piaget (1896-1980). Menurut Piaget ada empat tahapan perkembangan kognisi manusia, sebagai berikut :
1. Tingkat Sensorimotor (0-2 thn)
Anak mulai belajar dan mengendalikan lingkungannya melalui kemampuan panca indra dan gerakannya. Perilaku bayi pada tahap ini semata-mata berdasarkan pada stimulus yang diterimanya. Sekitar usia 8 bulan, bayi memilki pengetahuan object permanence yaitu walaupun object pada suatu saat tidak terlihat didepan matanya, tidak berarti objek tersebut tidak ada. Sebelum usia 8 bulan bayi pada umumnya beranggapan bahwa benda yang tidak mereka lihat berarti tidak ada. Pada tahap ini, bayi memiliki dunianya berdasarkan pengamatannya atas dasar gerakan/aktivitas yang dilakukan orang-orang disekelilingnya.



2. Tahap Preoporational (2-7 thn)
Anak-anak pada tahap ini sudah mampu berpikir sebelum bertindak, meskipun kemampuan berpikirnya belum sampai pada tingkat kemampuan berpikir logis. Masa 2-7 thn, kehidupan anak juga ditandai dengan sikap egosentris, dimana mereka berpikir subyektif dan tidak mampu melihat obyektifitas pandangan orang lain, sehingga mereka sukar menerima pandangan orang lain.

Ciri lain dari anak yang perkembangan kognisinya ada pada tahap preporational adalah ketidakmampuannya membedakan bahwa 2 objek yang sama memiliki masa, jumlah atau volume yang tetap walaupun bentuknya berubah-ubah. Karena belum berpikir abstrak, maka anak-anak di usia ini lebih mudah belajar jika guru melibatkan penggunaan benda yang konkrit daripada menggunakan hanya kata-kata saja.

3. Tahap Concrete (7-11 thn)
Pada umumnya, pada tahap ini anak-anak sudah memiliki kemampuan memahami konsep konservasi (concept of conservacy), yaitu meskipun suatu benda berubah bentuknya, namun masa, jumlah atau volumenya adalah tetap. Anak juga sudah mampu melakukan observasi, menilai dan mengevaluasi sehingga mereka tidak se-egosentris sebelumnya. Kemampuan berpikir anak pada tahap ini masih dalam bentuk konkrit, mereka belum mampu berpikir abstrak, sehingga mereka juga hanya mampu menyelesaikan soal-soal pelajaran yang bersifat konkrit. Aktifitas pembelajaran yang melibatkan siswa dalam melibatkan siswa dalam pengalaman langsung sangat efektif dibandingkan dengan penjelasan guru dalam bentuk verbal (kata-kata).

4. Tahap Formal Operations (11 thn ke atas)
Pada tahap ini, kemampuan siswa sudah berada pada tahap berpikir abstrak. Mereka mampu mengajukan hipotesa, menghitung konsekuensi yang mungkin terjadi serta menguji hipotesa yang mereka buat. Kalau dihadapkan pada suatu persoalan, siswa pada tahap perkembangan formal operational mampu memformulasikan semua kemungkinan dan menentukan kemungkinan yang mana yang paling mungkin terjadi berdasarkan kemampuan berpikir analistis dan logis.




Walaupun pada mulanya, piaget beranggapan bahwa pada usia sekitar 15 tahun, hampir semua remaja akan mencapai tahap perkembangan formal operation ini. Namun kenyataan membuktikan bahwa banyak siswa SMU bahkan sebagian orang dewasa sekali pun tidak memiliki kemampuan berpikir dalam tingkat ini.

Teori Kognitif : Pendekatan Konstruktivisme
Pada dasarnya pengetahuan yang kita miliki adalah konstruktivisme (bentukan) kita sendiri (Von Glaseserfeld, 1996). Seseorang yang belajar akan membentuk pengertian, ia tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian baik secara personal maupun sosial (Resnick, 1983 ; Bettencourt, 1989). Pengetahuan tersebut dibentuk melalui interaksi dengan lingkungannya.

Agar dapat mengerti sesuatu yang dipelajari, maka pembelajar harus bisa menemukan, mengorganisir, menyimpan, mengemukakan dan memikirkan suatu konsep atau kejadian dalam proses yang aktif dan konstruktif. Melalui proses pembentukan konsep yang terus menerus maka pengertian bisa dibangun (Bettencourt, 1989).

Pandangan Konstruktivisme
Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya (Bettencourt, 1989).

Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar (Von Glasersfeld, 1989).

Gagasan Konstruktivisme Tentang Pengetahuan
Siswa mengkonstruksi skema kognitif, kategori, konsep dan struktur dalam membangun pengetahuan, sehingga setiap siswa memiliki skema kognitif, kategori dan struktur yang berbeda

Proses abstraksi dan refleksi seseorang menjadi sangat berpengaruh dalam kontribusi pengetahuan (Reflection/abstraction as primary).





Faktor Yang Mempengaruhi Konstruksi Pengetahuan
1. Hasil konstruksi yang telah dimiliki (Constructed Knowledge)
2. Domain pengalaman (Domain Of Experience)
3. Jaringan struktur kognitif (Existing Cognitive Structure)

Makna Belajar Dalam Konstruktivisme
a. Belajar berarti membentuk makna
b. Konstruksi merupakan proses yang terus menerus
c. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta, tetapi proses pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian

Peran Dalam Pembelajaran Konstruktivisme
a. Menyediakan pengalaman belajar
b. Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan mahasiswa
c. Menyediakan sarana yang membuat mahasiswa berpikir produktif
d. Memonitor dan mengevaluasi hasil belajar mahasiswa

Proses Pembelajaran Konstruktivisme
a. Orientasi (Apersepsi)
b. Elisitasi, Pengungkapan ide siswa
c. Restrukturisasi ide : (menjelaskan ide, berargumentasi, membangun ide baru dan mengevaluasi ide baru)

Evaluasi Dalam Pembelajaran Konstruktivisme
Alternative Assesment, dengan menggunakan potofolio, observasi proses, simulasi dan permainan, dinamika kelompok, studi kasus dan performance appraisal

Strategi Pembelajaran Konstruktivisme
Antara lain Student-Centered Learning Strategis, dimana siswa belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif dan kolaboratif, self-regulated learning dan generative learning.







Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
Berdasarkan prinsip bahwa ”Dalam belajar seseorang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya”, maka guru hendaknya mengusahakan agar murid aktif berpartisipasi dalam membangun atau mengkonstruksi pengetahuannya.

Ada dua pertanyaan yang perlu dicermati guru, yaitu :
1. Pengalaman-pengalaman apa yang harus disediakan bagi para siswa supaya dapat memperlancar proses belajar
2. Bagaimana pembelajar dapat mengungkapkan atau menyajikan apa yang telah mereka ketahui untuk memberi arti pada pengalaman-pengalaman itu (Tobin, Trippin dan Gallard, 1994)

Model pembelajaran yang menggambarkan prinsip konstruktivisme : kesempatan yang luas bagi siswa untuk mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa dibantu untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka dalam kegiatan seperti : diskusi kelompok, debat, menulis paper, membuat laporan penelitian dimajalah, berdiskusi dengan para ahli, meneliti dilapangan, mengungkapkan pertanyaan dan sanggahan terhadap apa yang disampaikan guru, dll.
Teori Konstruktivisme
Lebih dua dasa warsa terakhir ini, dunia pendidikan mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme sehingga banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun tak luput dari pengaruh teori ini. Paul Suparno dalam "Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan" mencoba mengurai implikasi filsafat konstruktivisme dalam praktik pendidikan..
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeld). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Jika behaviorisme menekankan ketrampilan atau tingkah laku sebagai tujuan pendidikan, sedangkan maturasionisme menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan usia, sementara konstruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, sedangkan teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Sama halnya dengan setiap organisme harus beradaptasi secara fisik dengan lingkungan untuk dapat bertahan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secaca kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus mengembangkan skema pikiran lebih umum atau rinci, atau perlu perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan cara itu, pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang. Proses tersebut meliputi:
1. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori utnuk mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
2. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
3. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
4. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.

Bermakna dan Menghafal
Menurut Ausubel, ada dua macam proses belajar yakni belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna berarti informasi baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belajar menghafal hanya perlu bila pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada hubungannya dalam struktur pengertian lamanya. Dengan cara demikian, pengetahuan pembelajar selalu diperbarui dan dikonstruksikan terus-menerus. Jelaslah bahwa teori belajar bermakna Ausubel bersifat konstruktif karena menekankan proses asimilasi dan asosiasi fenomena, pengalaman, dan fakta baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.
Berlandaskan teori Piaget dan dipengaruhi filsafat sainsnya Toulmin yang mengatakan bahwa bagian terpenting dari pemahaman manusia adalah perkembangan konsep secara evolutif, dengan terus manusia berani mengubah ide-idenya, Posner dkk lantas mengembangkan teori belajar yang dikenal dengan teori perubahan konsep. Tahap pertama dalam perubahan konsep disebut asimilasi, yakni siswa menggunakan konsep yang sudah dimilikinya untuk menghadapi fenomena baru. Namun demikian, suatu ketika siswa dihadapkan fenomena baru yang tak bisa dipecahkan dengan pengetahuan lamanya, maka ia harus membuat perubahan konsep secara radikal, inilah yang disebut tahap akomodasi.
Tugas pendidikan adalah bagaimana dua tahap tersebut bisa terus berlangsung dengan terus memberi tantangan sehingga ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Praktik pendidikan yang bersifat hafalan seperti yang selama ini berlangsung jelas sudah tidak memadai lagi, bahkan bertentangan dengan hakikat pengetahuan dan proses belajar itu sendiri.
Untuk Direfleksikan
Selama ini praktik pendidikan kita masih sibuk dengan UAN, seragam, les tambahan, buku pelajaran, yang orientasinya hanya praktik penjejalan materi pelajaran dan hasil yang akan dicapai dengan mengabaikan proses berpikir dan pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri secara aktif. Tidak mengherankan bila hasil survei Unesco terhadap anak usia 15 tahun di 43 negara menempatkan Indonesia sebagai yang terendah bersama Albania dan Peru dalam hal basic skills yang meliputi kemampuan matematika, membaca, dan sains.


Kita tak perlu pongah dengan mengatakan bahwa ada anak-anak Indonesia yang berhasil menyabet kejuaraan dunia sejenis Olimpiade Matematika dan lain-lain, karena "anak unggul" semacam itu jumlahnya hanya satu dua di antara jutaan anak Indonesia lainnya. Justru lebih parah lagi apabila orientasi pendidikan tertuju hanya untuk meraih juara sambil menutup mata terhadap kenyataan yang ada secara umum.
Konstruktivisme bisa dijadikan alat refleksi kritis bagi para penyusun kurikulum, pengambil kebijakan, dan pendidik untuk membuat pembaruan sistem dan praktik pendidikan kita sehingga perubahan-perubahan yang ada bukan sekadar di permukaan, namun menukik ke "roh" pendidikan itu sendiri.

























DAFTAR PUSTAKA
Bell-Geller, M.E. Learning and Instruction: Theory Into Practice, Macmillan Publishing Company, New York, 1986.
Irawan, Prasetya, Teori Belajar. Program Pengembangan Keterampilan DAsar Teknik Instruksional (PEKERTI) Untuk Dosen MUda. Pusat Antar Universitas_Dikti, Depdikbud, 1997
Subiyanto, Paul. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan.
Slavin, Robert E. Educational Psychology: Theory and Practice (Development During Childhood and Adolescence). Allyn and Bacon Paramount Publishing, Massachusetts, 1994.

No comments: